Ajo dhuwee
Kamis, 23 Maret 2017
Kamis, 17 November 2016
Senin, 02 Mei 2016
Minggu, 01 Mei 2016
Rabu, 10 Februari 2016
I Miss You!
I
Miss You
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Pagi itu berselimut kabut. Menjadi penghalang fajar terbit di
ufuk timur. Rasa hangat yang hendak ia belaikan tak terasa. Tubuh Luna dingin
tersapu lembutnya angin.
Tok
tok tok!
Luna
segera beranjak dari tempatnya berbaring. Ia melongok ke luar jendela.
Dilihatnya seorang perempuan muda tampak elegan dengan pakaian yang ia kenakan
sedang bertamu di rumah Farel.
"Siapa
perempuan itu?" gumam Luna.
Lalu
tak lama, seseorang dari dalam rumah itu membukakan pintu. Bola mata Luna
membulat, melihat Farel dan tamu perempuannya bercipika cipiki.
“Hah?
Apa? Jadi perempuan itu pacarnya Farel? Ini ngga bisa dibiarkan!”
Luna
segera pergi ke rumah Farel untuk mencari kebenarannya. Sesampainya di rumah
Farel, perempuan itu terlihat ramah. Ia menyambut Luna dengan senyum yang mengembang di
wajahnya.
"Anda
siapa?" ketus Luna.
"Saya
Marina," jawab perempuan itu dengan ramah.
"Pacarnya
Farel?" Luna memandang Marina seperti tidak suka.
Marina
hanya tertawa kecil dan menyembunyikannya di balik pandangan yang menunduk. Luna dibuat bingung
oleh perempuan di hadapannya
"Kenapa
malah tertawa?"
"Habisnya
pertanyaan Mbak..." belum sempat Marina merampungkan perkatannya, Luna
dengan lancang memotong perkataan Marina,
"Oh,
jadi benar kalian pacaran?"
Luna
duduk di samping Marina,
"Asal
kamu tahu aja ya, Farel itu playboy. Nyesel deh kalau kamu kenal sama dia!
Mending cari pacar yang lain aja!"
"Luna!"
tegas Farel.
Deg!
Luna
terdiam. Dia meneguk ludah. Apakah Farel mendengar perkataannya?
Dengan mata yang memerah, Farel menarik tangan Luna dengan kasar dan membawanya ke luar rumah.
Dengan mata yang memerah, Farel menarik tangan Luna dengan kasar dan membawanya ke luar rumah.
"Apa-apaan
kau ini. Dia tamuku, seharusnya kau tidak menyuruh dia pergi dengan cara
seperti itu!"
"Apa?
Tamu? Dia pacarmu, kan?" ketus Luna seenaknya.
"Jaga
mulutmu! Kali ini kau sangat memalukan, Lun!" kata Farel dengan
menunjukkan jari telunjuk di hadapan Luna.
"Apa?
Jadi kau menyalahkanku?" Luna membela diri.
"Aku
tidak menyalahkanmu. Tapi, aku tidak suka dengan sikapmu
itu. Seharusnya kau tidak berbuat serendah itu!" Farel masih saja
menghakimi Luna.
Perlahan
bulir bening menepi di matanya,
"Lalu
apa yang kau suka dariku? Kau selalu menyalahkan diriku dan tidak pernah
menyukai semua yang aku lakukan! Kau jahat, Rel! Kau jahat!'
Bulir
bening itu akhirnya menetes pula. Luna segera berlari dan lebih memilih pergi
dari Farel.
"Bukan
seperti itu maksudku! Luna!" teriak Farel.
Namun,
Luna tidak mau memberi kesempatan kepada Farel untuk menjelaskan
apa yang ia maksud. Luna pergi dan menghilang di balik rumahnya.
"Aarrgghh!"
Farel melampiaskan kekesalannya dengan mengacak-acak rambutnya.
Entah
salah siapa. Farel hanya tidak ingin Luna berbuat tidak sopan pada tamu. Tapi,
Luna sendiri tidak mau jika Farel bersama dengan perempuan lain. Mereka
pacaran? Biarkan alur ini yang menjawabnya.
***
Suasana Malam itu terasa begitu hening. Suara binatang nokturnal menjadi
pengiring lagu malam. Luna sedang terdiam diri di trampolin yang biasa ia
mainkan bersama dengan Farel. Sembari menatap ke arah bintang dengan mata yang
masih terlihat sembab.
Sebuah
uluran tangan tiba-tiba muncul di
hadapannya, memberinya sebuah sapu tangan.
Luna menerimanya dan
tidak mengatakan apapun padanya. Farel duduk di samping Luna dan
mengikuti apa yang sedang dilakukan Luna, menatap bintang yang bersinar.
Tidak ada pembicaraan
diantara mereka. Hanya kebisuan berselimut dinginnya angin malam.
"Besok
aku akan pergi ke London," suara Farel memecah keheningan.
Luna
tak bergeming. Walau sejujurnya, hatinya sedih jika Farel akan pergi.
"Maafkan
atas sifat kasarku tadi padamu," Luna masih terdiam.
"Ini
malam terakhir kita bisa bersama. Aku harap saat kepergianku nanti, kau mau
mengantarku,"
Nihil.
Luna masih mematung.
"Aku
sayang padamu dan akan selamanya merindukanmu," Farel beranjak pergi.
Deg!
Kristal
bening mengalir kecil. Luna memalingkan muka dan hanya bisa melihat Farel yang
berangsur pergi. Tubuhnya bergetar setelah
mendengar semua yang Farel katakan pada
dirinya.
***
"Farel, kamu
nunggu apa? Ayo berangkat,"
"Iya sebentar lagi," Farel terus saja menunggu seseorang yang ia harapkan datang dan mengantar kepergiannya. Namun sampai pesawat akan berangkat, seseorang itu tak kunjung datang dihadapannya.
Dengan langkah penuh harapan, Farel beranjak pergi dan sesekali menengok ke belakang. Berharap tiba-tiba Luna ada dihadapannya.
Luna berlari secepat mungkin dan segera mencari Farel. Namun itu semua sia-sia. Tak ada satu orangpun yang ia temui disini.
"Mba Mba, pesawat tujuan London udah berangkat?"
"Oh udah Mba. Barusan pesawat itu berangkat,"
Luna terdiam. Apa? Farel sudah pergi? Kembali. Bulir bening perlahan menetes dari matanya. Sirna sudah harapan untuk bertemu dengannya.
"Iya sebentar lagi," Farel terus saja menunggu seseorang yang ia harapkan datang dan mengantar kepergiannya. Namun sampai pesawat akan berangkat, seseorang itu tak kunjung datang dihadapannya.
Dengan langkah penuh harapan, Farel beranjak pergi dan sesekali menengok ke belakang. Berharap tiba-tiba Luna ada dihadapannya.
Luna berlari secepat mungkin dan segera mencari Farel. Namun itu semua sia-sia. Tak ada satu orangpun yang ia temui disini.
"Mba Mba, pesawat tujuan London udah berangkat?"
"Oh udah Mba. Barusan pesawat itu berangkat,"
Luna terdiam. Apa? Farel sudah pergi? Kembali. Bulir bening perlahan menetes dari matanya. Sirna sudah harapan untuk bertemu dengannya.
***
Setelah kepergian Farel, tak ada
sosok sahabat yang biasa menemaninya lagi. Terkadang mereka bermain bersama pada
sebuah trampolin besar di depan rumah mereka. Saling bercanda tawa dan bertukar
cerita.
Ada rasa kehilangan yang
menyelimuti Luna. Seperti yang ia lakukan sekarang. Terdiam dengan tatapan
kosong ke arah luar jendela, memandang trampolin besar yang biasa mereka
bermain bersama.
Hanya ada bayang-bayang semu yang
terlihat dari matanya. Seolah Farel datang dan tersenyum padanya. Rasa rindu
itu telah membangunkan hatinya, bahwa sebenarnya dia yang pergi adalah dia yang
pantas untuknya.
Hingga tak ia sadari, air mata
mulai menepi di sudut matanya. Mengingat akan semua kenangan yang pernah mereka
ukir bersama. Dan kini hanya menjadi sebuah bayangan semu, yang entah sampai
kapan mereka akan bertemu kembali.
Mungkin biar waktu yang menjawab
kisah cinta mereka. Ketika rasa rindu telah hadir, bukan tak mungkin ada jalan
untuk bertemu dengan dia sosok yang kita inginkan.
“I miss you, Rel,” kata Luna disela
air matanya.
***
Tiga
tahun berselang. Akhirnya, Luna mempunyai kesempatan untuk menapakkan kaki di
Negeri Pangeran William. Luna terus menyusuri jalan dengan sesekali melihat ke
arah selembar kertas di tangannya. Ia bermaksud untuk mencari keberadaan Farel.
Sampai
akhirnya di depan sebuah rumah, ia melihat benda
kecil yang tak asing lagi di matanya. Saat ia dekati, ternyata benar. Benda itu
adalah lonceng yang sempat ia berikan pada Farel beberapa tahun lalu.
Keyakinannya bertambah kuat. Dia yakin ini adalah tempat dimana Farel tinggal.
Lalu dari belakang, seseorang memanggilnya.
"Luna?"
Luna
menengok ke belakang. Dilihatnya seseorang yang sangat ia kenali. Dengan senyum
bahagia, Luna berlari menghampiri orang itu.
"Ada
apa kau kemari?"
"Aku
datang untuk menjemput cintaku. Aku, merindukanmu," ujar Luna dengan
senyum bahagia.
Perlahan
sebuah senyuman tersungging di wajah tampan Farel. Dia merasa senang. Akhirnya,
orang yang ia harapkan datang juga.
Hap!
Farel menarik tangan Luna dan menjatuhkannya dalam pelukan hangat. Seraya
membisikan,
"Aku
juga merindukanmu. Jangan pernah pergi lagi. Aku menyayangimu,"
Sebenarnya
rindu adalah dimana perasaan dan ingatan kita tersadar akan sesuatu hal yang
kita rasa menghilang. Rasa rindu itu telah membawanya datang untuk menjemput
seseorang yang ia inginkan.
Langganan:
Postingan (Atom)