Sabtu, 03 Oktober 2015

Cerpen Kehidupan : Genggam Tanganku

Sumbrat cahaya mulai menembus masuk ke ruang gelap yang pengap. Matahari telah terbit di sebelah timur. Sinar jingganya perlahan menguning, seiring dengan berputarnya bumi.

Krekkk! Tirai jendela telah dibuka.

"Selamat pagi, Kakak!" seru Azzam.

Namun Adit belum juga mau bangkit dari tidur lelapnya. Ia memilih untuk menarik selimut kembali. Dan tidur.

"Kakaakk, ini sudah pagi. Ayo kita jogging bareng," kata Azzam dengan menarik selimut kakaknya. Berharap agar ia segera bangun dari tidurnya.

"Ahh!" gerutu Adit dengan mata terpejam dan kembali menarik selimutnya.

"Kakakkk ..." Azzam menarik kembali selimutnya.

BUG!

"Kamu bisa ngga sih jangan ganggu kakak!" bentak Adit pada Azzam yang jatuh tersungkur karena ditendangnya.

Azzam tak berkata. Ia hanya merasakan sakit yang teramat dari perutnya. Mencoba untuk bertahan, meski rasa sakit terus saja mendera.

"Dasar! Adik ngga tahu diri!" Adit beranjak pergi meninggalkan Azzam yang masih kesakitan.

Pagi ini sangat cerah. Burung-burung bernyanyi indah. Dedaunan kering berguguran seiring diterpa angin. Terdengar lembut alunan gesekan ranting.

Kedua saudara ini sedang lari pagi, namun sengaja Adit lari jauh lebih depan ketimbang adiknya. Seolah tidak memperdulikan dia sebagai adiknya. Adit tampak senang sendiri, dan mengabaikan Azzam.

"Kakak, tunggu. Perut Azzam sakit," rintih Azzam yang sejenak memberhentikan larinya.

"Halah, ngga usah manja kamu," Adit tak sedetikpun berpaling pada Azzam. 


Ia terus berlari dan memikirkan bagaimana kondisi Azzam.

Azzam mencoba untuk bangkit, walau nyatanya sangat sakit. Ia mencoba untuk melangkah kembali. Namun, terasa berat. Seolah pandangannya mulai kabur, kepalanya berdenyut hebat, Azzam tidak kuat lagi untuk berlari. Seketika, Azzam ambruk. Perlahan, perlahan, perlahan ia tak mendengar apapun lagi dan hanya kegelapan yang pekat. Pingsan.

Sebercak sinar mulai terlihat. Beberapa kali Azzam mengerjipkan matanya. Sampai matanya terbuka sempurna. Dilihatnya, Ibu yang tengah duduk di samping ranjangnya sedang menyeka air mata.

"Ibu ..." sahut Azzam dengan suara parau.

"Iya, Zam. Ada apa?"

"Kak Adit mana?"

Brak! 


Pintu terbuka. Terlihat Adit berdiri di ambang pintu. Melihat ke arah Azzam tanpa ada rasa kasihan ataupun kasih sayang darinya. Ia mulai melangkahkan kaki masuk.

"Kak Adit?" ketus Azzam dengan senang. Segera ia membenarkan posisi berbaringnya.

Adit hanya memandangi Azzam, dan tidak berkata apapun padanya.

"Ibu, besok ada pertandingan balap mobil. Dan Adit harus mengikutinya," ucap Adit dingin.

"Apa?" Ibu beranjak dari duduknya dan melangkah mendekat ke arah Adit.


 "Kamu mau ikut bapal mobil?" 

Adit mengangguk dengan membuang muka.

"Apa kamu tidak kasihan melihat adikmu hah?"

Adit kembali melihat Azzam. "Buat apa kasihan sama dia. Aku ngga peduli dengannya. Yang terpenting besok Adit mau ikut balap mobil. Titik!"

"Adit! Lihat Azzam, dia sedang sakit. Apa kau pernah sebentar saja peduli dengan saudaramu?" Ibu diam sejenak. "Adiitt, dia adikmu. Dia adikmu. Anak Ibu," sambung Ibu sembari memegang tangan Adit.

"Adit tidak peduli!" Adit melepas tangan Ibu dengan kasar.


 "Karena ada dia, Ibu dan Ayah tidak pernah peduli pada Adit. Karena dia, Ibu dan Ayah tidak sayang lagi sama Adit. Semuanya telah direbut olehnya. Adit benci!" teriak Adit yang berangsur pergi.

Air mata mulai menitih di wajah Ibu. Ia sedih dengan ucapan Adit barusan. Ia tidak tahu jalan pikkr Adit, siapa yang telah menghasut dirinya. Sementara Azzam, biarpun Adit tidak peduli dengannya. Tapi Azzam akan selalu sayang padanya. Biar bagaimanapun juga, Adit adalah saudaranya.

"Arrrgghhh!" Adit kesal. Ia mengacak-acak rambutnya depresi.

"Kakak kenapa?" sahut Adit yang mendengar teriakkan keras dari kakaknya.

Sejenak Adit diam. Ia memandang Azzam dalam. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

"Azzam, Azzam," kata Adit yang tiba-tiba mendekat ke arahnya dan memegang bahunya.


"Apa kau punya uang?"

"Untuk apa, Kak?"

"Kakak kan ingin ikut pertandingan itu. Nah, itu harus membayar. Kakak tidak punya uang. Apa kamu punya? Nanti kapan-kapan kakak kembalikan,"

Azzam mengangguk. "Punya. Sebentar Azzam ambilkan," Azzam segera mengambil uang tabungannya dan memberikan pada kakaknya. 


"Ini untuk Kak. Sekiranya dengan cara ini Kakak bisa mengikuti pertandingan itu, Azzam dukung. Kakak ngga perlu mengembalikan uang itu, karena uangku uang kakak juga," ujar Azzam dengan lugunya.

Adit tidak peduli dengan celotehan adiknya. Ia menyeringai saat memandangi uang yang ada digenggamannya. Dan segera pergi meninggalkan Azzam tanpa berterimakasih.

Prriiitttt!!!

Begitu peluit ditiup, mobil segera melaju secepat mungkin. Saling menyalip satu sama lain demi bisa mendapatkan urutan yang pertama. Begitu juga dengan Adit, ia tampak serius melajukan mobilnya. Meliak-liuk disetiap tikungan. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut hebat. Pandangan berkunang-kunang, ia tidak melihat dengan jelas. Sampai akhirnya tabrakanpun terjadi.

BRAKKK!!! 


Mobil yang dikendarai Adit terlempar beberapa meter sebelum akhirnya terbalik.

Secercah sinar mulai menembus matanya. Adit tersadar atas insiden kecelakaan yang menimpa dirinya. Ia melihat Ibu telah berada di sampingnya. Menitihkan air mata, sedih melihat kondisinya.

"Ibu, apa yang terjadi?" ucap Adit dengan lemah. Ibunya terdiam, ia masih menangis. 


Tak mungkin untuknya mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Adit mungkin belum siap mendengar semua ini.

"Ibu jawab. Apa yang terjadi?"

"Ka kamu yang sabar ya, Nak. Ka ka kakimu ..."

"Apa yang terjadi dengan kakiku Ibu? Apa yang terjadi?" Adit langsung membuka selimut dan melihat kakinya.

Matanya terbelakak, ia tak percaya dengan semua ini. "Apa ini? Apa ini? Dimana kakiku? Dimana kakiku? Aaaaaaa!! Ini semua ngga mungkin! Aku ngga mungkin buntung!!" Adit berteriak histeris seraya memukul-mukul kakinya. 


Ibu berusaha untuk menenangkannya, namun tak cukup bagi Adit untuk menerima kenyataan ini. Air mata menetes di mukanya.

"Kakak!" sahut Azzam yang tiba-tiba datang dari balik pintu.

Adit menoleh ke arah Azzam. Dilihatnya, Azzam mulai mendekat ke arahnya dan berdiri di sampingnya.

"Azzam?" Azzam mengangguk.


 "Azzam!" seru Adit yang langsung menarik Azzam dalam pelukannya.

Ia menangis terisak dan membiarkan air mata berjatuhan dibaju Azzam. Menangis.

"Maafkan aku, Zam. Aku terlalu mengabaikan padamu. Tapi tidak pernah sedetikpun kau mengabaikan aku," ujar Adit dengan melepas pelukannya.

"Iya kak ngga papa. Kita kan saudara, sudah sewajarnya kita bersama," Azzam tersenyum.


"Kakak akan selamanya menjadi yang terbaik. Bagaimanapun kondisi kakak dan apapun yang kakak lakukan pada Azzam, Azzam akan selamanya menyayangi kakak," sambung Azzam seraya menggenggam tangan kakaknya.

Adit tersenyum dan kembali memeluk adiknya. Air matapun kembali mengalir.

Gengggam tanganku di saat aku tertatih, yakinkan aku saat aku terpuruk. Kau adalah saudaraku, yang senantiasa ada untuk hidupku. Terimakasih atas adanya dirimu, ternyata bukan karena kehadiranmu kasih sayang mereka memudar. Nyatanya mereka masih menyayangiku, walau tak ditunjukkan langsung padaku. Genggam erat tanganku, wahai Azzam adikku.

Cerpen Pemberi Harapan Palsu?

Judul : Pemberi Harapan Palsu
Oleh : Anna Jihan Oktiana

Matahari mulai merangkak naik, menjauh dari terjaganya dan hendak pulang ke peraduannya. Sinarnya mulai bertambah terang, merah kejinggaan itu berpadu apik dengan meredupnya cahaya langit.

Dandelion itu terlihat melambai-lambai saat tertiup angin. Suara gesekan ilalang berkolaborasi dengan gemriciknya air menjadi melodi syahdu di telinga. Semilir angin menerpa tubuhku, membelai lembut roma wajahku, menyapa hangat kelopak mataku.

Rambut panjang yang aku biarkan tergurai menutup sebagian wajahku, kala angin mencoba untuk melintas di sampingku. Sebuah rabaan hangat mulai mendera tubuhku.

Kala mata ini beralih melihatnya, ternyata Rizky sedang membantu diriku mengembalikan posisi rambut ke tempat semula. Sejenak aku beradu pandang dengannya. Dia memandangiku penuh makna. Dalam. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Segera aku menurunkan pandangan, dan saat itu juga dia menghentikan langkah tangannya.

Ada rasa bahagia yang tiba-tiba bergetar di jiwa. Mengisyaratkan agar sebuah senyuman merekah di bibirku. Entahlah, akupun tidak tahu. Setiap kali aku dekat dengannya, ada rasa nyaman yang menyelimuti diriku. Seolah tidak ingin jauh darinya. Benarkah ini yang namanya cinta? Apakah dia peka dengan perasaanku?

"Tunggu disini, dan aku akan segera kembali," sahutnya seraya beranjak dari duduk dan segera pergi mengayuh sepedanya.

Aku tak sanggup berkata. Karena dia sudah lebih dulu pergi. Aku hanya bisa memandangi punggungnya, yang perlahan menghilang dari pandanganku di telan dandelion yang masih melambai.

Tak beberapa lama, dia kembali. Dia menyuruhku untuk berdiri, dan aku menuruti perintahnya.

Tiba-tiba dia bersimpu di hadapanku, seraya menyodorkan setangkai bunga matahari pada diriku. "Aku menyayangimu," ketusnya.

Aku tersentak. Kaget. Mataku membulat. Mulutku terkunci rapat. Hingga airnya, setitik air mata menetes juga dari mataku. Aku terharu. Aku menerima bunga itu dan langsung memeluknya. Dia memelukku sembari mengelus lembut kepalaku.

"Aku menyayangimu, jangan pergi dariku," ujarnya dengan melepas pelukan. Suaranya terdengar meragukan, seumpama dia merasa gemetar dan tidak yakin mengatakannya.

Namun, aku tidak melihat keraguan itu di matanya. Hanya saja, hatiku berkata, dia tidak untukmu. Benarkah dia tidak untukku? Lantas kenapa dia mengatakan, bahwa dia menyayangiku? Tapi, memanglah dia tidak mengatakan "apakah kau mau jadi pacarku?" lalu apa arti tanda sayang ini?

"Aku menyayangimu. Aku sangat menyayangimu," ujarnya berulang-ulang. Membuatku merasa aneh mendengar tiap-tiap perkataannya.

"Jangan pergi, dan aku harap kau tidak tertarik dengan pria lain. Tunggu diriku sampai menyatakannya padamu,"

Deg! Seketika harapanku pecah. Hancur berkeping-keping. Rasanya mata ini pedih, tak sanggup lagi aku menahannya. Namun tak mungkin untukku menangis di hadapannya. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. Aku hanya mengangguk, sebagai tanda 'ya' dariku.

***

"Dilla!"

Aku membalikkan badan, kala sebuah suara menyebut diriku. Terlihat, Rere sedang berjalan ke arahku.

"Ada apa, Re?" kataku, setelah dia ada di depanku.

"Aku akan mengajakmu makan-makan. Apa kau mau ikut?"

"Waahh, cair nih. Tumben nih ngajak aku makan-makan. Lagi ada apa, Re?" ucapku dengan sedikit menggodainya.

Dia tersenyum. Seolah menandakan, dia sedang merasa bahagia. "Mm ... Kamu tahu ngga, Dil?" katanya sedikit malu.

Aku menggeleng. "Ada apa si, Re? Penasaran nih,"

"Aku udah punya pacar. Dan bye bye jomblo," ketusnya girang.

"Oh ya?" mataku berbinar. Dia mengangguk yakin dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.

"Kalau boleh tahu, siapa pacarmu, Re?"

"Rizky," ketusnya.

Seketika mulutku melongo. Kaget mendengar penuturannya. "Riz Riz Rizky Amrullah?" ujarku terbata-bata. Karena mulutku tiba-tiba saja terasa kaku. Berat untuk menyebut namanya.

Dia mengangguk dengan mata berbinar. Dia merasa sangat bahagia. Aku terdiam. Mencoba untuk percaya dengan semua ini. Pikiranku hanya dipenuhi dengan tanda tanya besar. Aku benar-benar tidak percaya dengan semua ini.

"Nanti aku datang ke rumahmu. Kita makan-makan, oke?"

Aku mengangguk. Dan dia berangsur pergi.

Setelah aku menaruh harapan akan kata-kata manisnya, ternyata dengan mudah dia menghapus harapan itu. Seakan membalikan telapak tangan. Oh Dilla, kenapa dirimu bisa dengan mudah terhipnotis dengan rayuannya? Dengan kata-kata manisnya? Tapi apa ini. Dia tidak mencintaimu. Dia malah berpaling pada orang lain. Sadar Dil, sadar! Dia adalah pemberi harapan palsu! Hatiku memberontak.

Aku menyesal, karena tidak mendengar perkataan hatiku. Dan lebih memilih jalan pikirku. Ternyata, hatilah yang tidak akan mengkhianati tetapi otak bisa saja mengkhianati.

Riz, kenapa kau beri sebuah harapan padaku? Kenyataannya semua itu palsu! Air mata berlinang. Menangis.

Goresan Belati Hati ( Puisi Cinta )

Judul : Goresan Belati Hati
Oleh : Anna Jihan Oktiana

Masih terngiang dalam pikirku
Tentang kenangan manis yang pernah kau ukir dalam pena hatiku
Namun semua itu telah memudar, sirna
Terombang ambing angin kepedihan

Matapun serasa panas
Meleleh bersama derai air mata
Berharap semua itu akan kembali
Dan tak akan terbang lagi

Kau adalah ketidak mungkinan yang selalu aku semogakan
Walau nyatanya kau malah menancapkan belati di hati
Aku bertahan dan berjuang
Namun kau sia-siakan

Tuhan, kenapa Kau jatuhkan aku dalam muara cintanya?
Akupun ingin bahagia
Merasakan indahnya cinta tanpa terluka