Judul : Pemberi Harapan Palsu
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Matahari mulai merangkak naik, menjauh dari terjaganya dan hendak pulang ke peraduannya. Sinarnya mulai bertambah terang, merah kejinggaan itu berpadu apik dengan meredupnya cahaya langit.
Dandelion itu terlihat melambai-lambai saat tertiup angin. Suara gesekan ilalang berkolaborasi dengan gemriciknya air menjadi melodi syahdu di telinga. Semilir angin menerpa tubuhku, membelai lembut roma wajahku, menyapa hangat kelopak mataku.
Rambut panjang yang aku biarkan tergurai menutup sebagian wajahku, kala angin mencoba untuk melintas di sampingku. Sebuah rabaan hangat mulai mendera tubuhku.
Kala mata ini beralih melihatnya, ternyata Rizky sedang membantu diriku mengembalikan posisi rambut ke tempat semula. Sejenak aku beradu pandang dengannya. Dia memandangiku penuh makna. Dalam. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Segera aku menurunkan pandangan, dan saat itu juga dia menghentikan langkah tangannya.
Ada rasa bahagia yang tiba-tiba bergetar di jiwa. Mengisyaratkan agar sebuah senyuman merekah di bibirku. Entahlah, akupun tidak tahu. Setiap kali aku dekat dengannya, ada rasa nyaman yang menyelimuti diriku. Seolah tidak ingin jauh darinya. Benarkah ini yang namanya cinta? Apakah dia peka dengan perasaanku?
"Tunggu disini, dan aku akan segera kembali," sahutnya seraya beranjak dari duduk dan segera pergi mengayuh sepedanya.
Aku tak sanggup berkata. Karena dia sudah lebih dulu pergi. Aku hanya bisa memandangi punggungnya, yang perlahan menghilang dari pandanganku di telan dandelion yang masih melambai.
Tak beberapa lama, dia kembali. Dia menyuruhku untuk berdiri, dan aku menuruti perintahnya.
Tiba-tiba dia bersimpu di hadapanku, seraya menyodorkan setangkai bunga matahari pada diriku. "Aku menyayangimu," ketusnya.
Aku tersentak. Kaget. Mataku membulat. Mulutku terkunci rapat. Hingga airnya, setitik air mata menetes juga dari mataku. Aku terharu. Aku menerima bunga itu dan langsung memeluknya. Dia memelukku sembari mengelus lembut kepalaku.
"Aku menyayangimu, jangan pergi dariku," ujarnya dengan melepas pelukan. Suaranya terdengar meragukan, seumpama dia merasa gemetar dan tidak yakin mengatakannya.
Namun, aku tidak melihat keraguan itu di matanya. Hanya saja, hatiku berkata, dia tidak untukmu. Benarkah dia tidak untukku? Lantas kenapa dia mengatakan, bahwa dia menyayangiku? Tapi, memanglah dia tidak mengatakan "apakah kau mau jadi pacarku?" lalu apa arti tanda sayang ini?
"Aku menyayangimu. Aku sangat menyayangimu," ujarnya berulang-ulang. Membuatku merasa aneh mendengar tiap-tiap perkataannya.
"Jangan pergi, dan aku harap kau tidak tertarik dengan pria lain. Tunggu diriku sampai menyatakannya padamu,"
Deg! Seketika harapanku pecah. Hancur berkeping-keping. Rasanya mata ini pedih, tak sanggup lagi aku menahannya. Namun tak mungkin untukku menangis di hadapannya. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. Aku hanya mengangguk, sebagai tanda 'ya' dariku.
***
"Dilla!"
Aku membalikkan badan, kala sebuah suara menyebut diriku. Terlihat, Rere sedang berjalan ke arahku.
"Ada apa, Re?" kataku, setelah dia ada di depanku.
"Aku akan mengajakmu makan-makan. Apa kau mau ikut?"
"Waahh, cair nih. Tumben nih ngajak aku makan-makan. Lagi ada apa, Re?" ucapku dengan sedikit menggodainya.
Dia tersenyum. Seolah menandakan, dia sedang merasa bahagia. "Mm ... Kamu tahu ngga, Dil?" katanya sedikit malu.
Aku menggeleng. "Ada apa si, Re? Penasaran nih,"
"Aku udah punya pacar. Dan bye bye jomblo," ketusnya girang.
"Oh ya?" mataku berbinar. Dia mengangguk yakin dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
"Kalau boleh tahu, siapa pacarmu, Re?"
"Rizky," ketusnya.
Seketika mulutku melongo. Kaget mendengar penuturannya. "Riz Riz Rizky Amrullah?" ujarku terbata-bata. Karena mulutku tiba-tiba saja terasa kaku. Berat untuk menyebut namanya.
Dia mengangguk dengan mata berbinar. Dia merasa sangat bahagia. Aku terdiam. Mencoba untuk percaya dengan semua ini. Pikiranku hanya dipenuhi dengan tanda tanya besar. Aku benar-benar tidak percaya dengan semua ini.
"Nanti aku datang ke rumahmu. Kita makan-makan, oke?"
Aku mengangguk. Dan dia berangsur pergi.
Setelah aku menaruh harapan akan kata-kata manisnya, ternyata dengan mudah dia menghapus harapan itu. Seakan membalikan telapak tangan. Oh Dilla, kenapa dirimu bisa dengan mudah terhipnotis dengan rayuannya? Dengan kata-kata manisnya? Tapi apa ini. Dia tidak mencintaimu. Dia malah berpaling pada orang lain. Sadar Dil, sadar! Dia adalah pemberi harapan palsu! Hatiku memberontak.
Aku menyesal, karena tidak mendengar perkataan hatiku. Dan lebih memilih jalan pikirku. Ternyata, hatilah yang tidak akan mengkhianati tetapi otak bisa saja mengkhianati.
Riz, kenapa kau beri sebuah harapan padaku? Kenyataannya semua itu palsu! Air mata berlinang. Menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar