Rabu, 10 Februari 2016

I Miss You!



I Miss You
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Pagi itu berselimut kabut. Menjadi penghalang fajar terbit di ufuk timur. Rasa hangat yang hendak ia belaikan tak terasa. Tubuh Luna dingin tersapu lembutnya angin.
Tok tok tok!
Luna segera beranjak dari tempatnya berbaring. Ia melongok ke luar jendela. Dilihatnya seorang perempuan muda tampak elegan dengan pakaian yang ia kenakan sedang bertamu di rumah Farel.
"Siapa perempuan itu?" gumam Luna.
Lalu tak lama, seseorang dari dalam rumah itu membukakan pintu. Bola mata Luna membulat, melihat Farel dan tamu perempuannya bercipika cipiki.
Hah? Apa? Jadi perempuan itu pacarnya Farel? Ini ngga bisa dibiarkan!”
Luna segera pergi ke rumah Farel untuk mencari kebenarannya. Sesampainya di rumah Farel, perempuan itu terlihat ramah. Ia menyambut Luna dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
"Anda siapa?" ketus Luna.
"Saya Marina," jawab perempuan itu dengan ramah.
"Pacarnya Farel?" Luna memandang Marina seperti tidak suka.
Marina hanya tertawa kecil dan menyembunyikannya di balik pandangan yang menunduk. Luna dibuat bingung oleh perempuan di hadapannya
"Kenapa malah tertawa?"
"Habisnya pertanyaan Mbak..." belum sempat Marina merampungkan perkatannya, Luna dengan lancang memotong perkataan Marina,
"Oh, jadi benar kalian pacaran?"
Luna duduk di samping Marina,
"Asal kamu tahu aja ya, Farel itu playboy. Nyesel deh kalau kamu kenal sama dia! Mending cari pacar yang lain aja!"
"Luna!" tegas Farel.
Deg!
Luna terdiam. Dia meneguk ludah. Apakah Farel mendengar perkataannya?
Dengan mata yang memerah, Farel menarik tangan Luna dengan kasar dan membawanya ke luar rumah.
"Apa-apaan kau ini. Dia tamuku, seharusnya kau tidak menyuruh dia pergi dengan cara seperti itu!"
"Apa? Tamu? Dia pacarmu, kan?" ketus Luna seenaknya.
"Jaga mulutmu! Kali ini kau sangat memalukan, Lun!" kata Farel dengan menunjukkan jari telunjuk di hadapan  Luna.
"Apa? Jadi kau menyalahkanku?" Luna membela diri.

"Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, aku tidak suka dengan sikapmu itu. Seharusnya kau tidak berbuat serendah itu!" Farel masih saja menghakimi Luna.
Perlahan bulir bening menepi di matanya,
"Lalu apa yang kau suka dariku? Kau selalu menyalahkan diriku dan tidak pernah menyukai semua yang aku lakukan! Kau jahat, Rel! Kau jahat!'
Bulir bening itu akhirnya menetes pula. Luna segera berlari dan lebih memilih pergi dari Farel.
"Bukan seperti itu maksudku! Luna!" teriak Farel.
Namun, Luna tidak mau memberi kesempatan kepada Farel untuk menjelaskan apa yang ia maksud. Luna pergi dan menghilang di balik rumahnya.
"Aarrgghh!" Farel melampiaskan kekesalannya dengan mengacak-acak rambutnya.
Entah salah siapa. Farel hanya tidak ingin Luna berbuat tidak sopan pada tamu. Tapi, Luna sendiri tidak mau jika Farel bersama dengan perempuan lain. Mereka pacaran? Biarkan alur ini yang menjawabnya.
***
Suasana Malam itu terasa begitu hening. Suara binatang nokturnal menjadi pengiring lagu malam. Luna sedang terdiam diri di trampolin yang biasa ia mainkan bersama dengan Farel. Sembari menatap ke arah bintang dengan mata yang masih terlihat sembab.
Sebuah uluran tangan tiba-tiba muncul di hadapannya, memberinya sebuah sapu tangan. Luna menerimanya dan tidak mengatakan apapun padanya. Farel duduk di samping Luna dan mengikuti apa yang sedang dilakukan Luna, menatap bintang yang bersinar. Tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya kebisuan berselimut dinginnya angin malam.
"Besok aku akan pergi ke London," suara Farel memecah keheningan.
Luna tak bergeming. Walau sejujurnya, hatinya sedih jika Farel akan pergi.
"Maafkan atas sifat kasarku tadi padamu," Luna masih terdiam.
"Ini malam terakhir kita bisa bersama. Aku harap saat kepergianku nanti, kau mau mengantarku,"
Nihil. Luna masih mematung.
"Aku sayang padamu dan akan selamanya merindukanmu," Farel beranjak pergi.
Deg!
Kristal bening mengalir kecil. Luna memalingkan muka dan hanya bisa melihat Farel yang berangsur pergi. Tubuhnya bergetar setelah mendengar semua yang Farel katakan pada dirinya.

***
"Farel, kamu nunggu apa? Ayo berangkat,"

"Iya sebentar lagi," Farel terus saja menunggu seseorang yang ia harapkan datang dan mengantar kepergiannya. Namun sampai pesawat akan berangkat, seseorang itu tak kunjung datang dihadapannya.

Dengan langkah penuh harapan, Farel beranjak pergi dan sesekali menengok ke belakang. Berharap tiba-tiba Luna ada dihadapannya.

Luna berlari secepat mungkin dan segera mencari Farel. Namun itu semua sia-sia. Tak ada satu orangpun yang ia temui disini.

"Mba Mba, pesawat tujuan London udah berangkat?"

"Oh udah Mba. Barusan pesawat itu berangkat,"

Luna terdiam. Apa? Farel sudah pergi? Kembali. Bulir bening perlahan menetes dari matanya. Sirna sudah harapan untuk bertemu dengannya.

***

Setelah kepergian Farel, tak ada sosok sahabat yang biasa menemaninya lagi. Terkadang mereka bermain bersama pada sebuah trampolin besar di depan rumah mereka. Saling bercanda tawa dan bertukar cerita.

Ada rasa kehilangan yang menyelimuti Luna. Seperti yang ia lakukan sekarang. Terdiam dengan tatapan kosong ke arah luar jendela, memandang trampolin besar yang biasa mereka bermain bersama.

Hanya ada bayang-bayang semu yang terlihat dari matanya. Seolah Farel datang dan tersenyum padanya. Rasa rindu itu telah membangunkan hatinya, bahwa sebenarnya dia yang pergi adalah dia yang pantas untuknya.

Hingga tak ia sadari, air mata mulai menepi di sudut matanya. Mengingat akan semua kenangan yang pernah mereka ukir bersama. Dan kini hanya menjadi sebuah bayangan semu, yang entah sampai kapan mereka akan bertemu kembali.

Mungkin biar waktu yang menjawab kisah cinta mereka. Ketika rasa rindu telah hadir, bukan tak mungkin ada jalan untuk bertemu dengan dia sosok yang kita inginkan.

“I miss you, Rel,” kata Luna disela air matanya.

***

Tiga tahun berselang. Akhirnya, Luna mempunyai kesempatan untuk menapakkan kaki di Negeri Pangeran William. Luna terus menyusuri jalan dengan sesekali melihat ke arah selembar kertas di tangannya. Ia bermaksud untuk mencari keberadaan Farel.
Sampai akhirnya di depan sebuah rumah,  ia melihat benda kecil yang tak asing lagi di matanya. Saat ia dekati, ternyata benar. Benda itu adalah lonceng yang sempat ia berikan pada Farel beberapa tahun lalu. Keyakinannya bertambah kuat. Dia yakin ini adalah tempat dimana Farel tinggal. Lalu dari belakang, seseorang memanggilnya.
"Luna?"
Luna menengok ke belakang. Dilihatnya seseorang yang sangat ia kenali. Dengan senyum bahagia, Luna berlari menghampiri orang itu.
"Ada apa kau kemari?"
"Aku datang untuk menjemput cintaku. Aku, merindukanmu," ujar Luna dengan senyum bahagia.
Perlahan sebuah senyuman tersungging di wajah tampan Farel. Dia merasa senang. Akhirnya, orang yang ia harapkan datang juga.
Hap! Farel menarik tangan Luna dan menjatuhkannya dalam pelukan hangat. Seraya membisikan,
"Aku juga merindukanmu. Jangan pernah pergi lagi. Aku menyayangimu,"
Sebenarnya rindu adalah dimana perasaan dan ingatan kita tersadar akan sesuatu hal yang kita rasa menghilang. Rasa rindu itu telah membawanya datang untuk menjemput seseorang yang ia inginkan.



Cerpen Cinta : "December Wish"



December Wish
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Ketika sebuah harapan menjadi kenyataan, disaat itulah cinta datang bersama dengan datangnya kebahagiaan. Kita ngga pernah tahu, kapan keajaiban akan bertamu, dan meminta kita untuk takjub padanya. Dan aku juga ngga pernah tahu, jika nantinya dia akan jadi milikku.
    
Pertemuan waktu itu, yang tak sengaja terjadi, membuatku mengenali sosok itu, Amar. Setelah satu bulan berselang, selama itulah kedekatanku dengannya terjalin. Aku tidak menyangka, jika pertemuan itu akan membuatku merasa ... em entah apa. Terkadang aku merasa nyaman saat didekatnya, tapi apa ini yang dinamakan cinta? Entahlah.

Hari itu, saat daun-daun bintang kering berjatuhan dari tangkai yang telah membesarkannya, bersama dengan semilir angin yang berhembus pelan, membuat ranting saling bergesekan seakan mengalunkan sebuah melodi.

Kami berjalan beriringan, melewati jalan setapak dengan berteman pohon-pohon nan rindang di sepanjang jalan. Nyaman, tenang, sejuk. Itulah yang aku rasakan. “Mmm, kamu tahu ngga apa itu cinta?” ketusnya dengan mata menerawang ke arah langit biru, sembari memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya.

Aku terdiam, lalu dia menoleh ke arahku. “Kamu tidak tahu?” katanya lagi. Aku menggelengkan kepala, dan dia hanya tersenyum lalu kembali tidak menghadapku. Sungguh, apa maksud tertawanya itu? Kau sedang menghinaku?

“Memangnya apa itu cinta?” sahutku yang merasa jengkel dengan senyumnya seolah meledekku. Dia terdiam, menghentikan langkahnya, kemudian kembali menoleh ke arahku. Perlahan, perlahan, perlahan, perlahan, dia memegang bahuku. Aku bisa merasakan cengkeraman tangannya dan desiran nafas yang berhembus darinya.

“Cinta itu, saat aku dan kamu menjadi kita.” Ujarnya.

Deg! Seketika jantungku berdetak cepat, pengin copot rasanya. Sungguh, aku dibuat terkejut setengah mati olehnya. Entah kenapa setelah dia melihat ekspresi kagetku, tiba-tiba saja dia tertawa dan melepaskan tangannya di pundakku.

Apa yang dikatakannya benar? Apa memang dia menaruh perasaan padaku? Apa dia tahu isi hatiku? Sungguh. Pikirku yang masih mencoba untuk mencerna kata-katanya barusan.

“Jangan diambil hati. Aku hanya bercanda!” sahutnya yang tanpa aku sadari dia telah berada jauh di depanku.

Aku segera berlarian kecil untuk menghampirinya. “Hu! Kau ini.” Celutakku seraya menyikut perutnya dan memasang wajah kesal. Dia hanya tertawa melihat tingkahku. “Ngga lucu tahu!” sambungku yang masih jengkel dibuatnya. Lalu aku kembali berjalan dengan sedikit mempercepat langkah kaki agar bisa lebih jauh darinya.

“Hana, Hana. Tunggu!” teraiknya, memintaku untuk berhenti. Tapi aku tidak peduli. “Hana tunggu!” katanya yang telah berada di sampingku. Langkahku terhenti, lalu dia langsung menggenggam tanganku. Oh, apakah dia akan menjahiliku lagi?

“Dalam hitungan ketiga, saat aku bilang lari, kau harus lari.” Ujarnya dengan tatapan tajam ke depan. Aku mencoba untuk melihat ke depan, memastikan sesuatu hal yang akan terjadi. Tapi, semua terlihat biasa saja, tidak ada apa-apa. “Satu, dua,” katanya lirih.

“Me memangnya ...” belum sempat aku berbicara, “tigaaaaa, lariiiii !” tambahnya yang langsung menarik tanganku, membawaku lari bersamanya. “Kenapaaaaaaaa?” lanjut perkataanku dengan berteriak.

Dia tidak menjawab, dan seketika daun-daun bintang mulai berguguran dari tangkainya. Saat sang angin menghampiri mereka, dan memintanya untuk meninggalkan tangkai yang telah membesarkannya.

Langkahku perlahan mulai melambat, mataku takjub akan daun-daun bintang yang berguguran itu. Seakan daun-daun bintang itu menari-nari di depanku. Sekarang aku tahu, mungkin ini adalah yang dimaksud olehnya. Sungguh, dia berhasil membuatku terpaku dengan hal sederhana ini.

Bagai di musim gugur, helai demi helai daun bintang berjatuhan, satu diantaranya menghampiriku. Dan saat aku mencoba untuk menyentuhnya, sang angin seakan memintanya untuk kembali terbang.

Hingga tak ku sadari, senyum bahagia telah merekah di wajahku. Menghilangkan wajah cemberutku itu. Aku menari-nari, berputar-putar, memejamkan mata, dan merasakan kesejukan angin menghampiri hatiku. Teduh.

Lalu aku kembali membuka mata, melihat dia yang tampak senang melihatku. Oh Tuhan, inikah kebahagiaan yang akan kau rencanakan? Jika iya, aku mohon, jangan biarkan kebahagiaa ini sirna, aku ingin tetap merasakan ini, bersamanya, hanya dengan bersamanya.
-oOo-
“Hana! Hana!”

Aku mencoba untuk menengok ke arah seseorang yang memanggil namaku. Oh dia. Pikirku. Lalu aku kembali melanjutkan membaca buku. “Rupanya disini, dicariin juga.” Ketusnya seraya duduk di sampingku.

“Eh kamu tahu ngga?” katanya. Aku tidak peduli, aku masih sibuk dengan kata-kata dalam buku yang sedang aku baca, padahal aku tidak bertanya kenapa, tapi dia melanjutkan perkatannya padaku. “Amar.” Ketusnya yang seketika membuatku terperanjat dan menghentikan membacaku.

“Amar? Memangnya apa yang terjadi dengan dia?” tanyaku penuh antusias. Dia sempat memandangiku heran, mungkin karena sikap terkejutku yang tiba-tiba saat dia menyebut nama ‘Amar’.  Aku mencoba untuk mengkontrol diri, dan dia tidak bertanya apapun atas kesepontananku.

“Aku, suka, sama, Amar.”

Duaaarrrr! Seketika hatiku serasa hancur mendengarnya. Dia mengatakan itu dengan begitu tegasnya di telingaku. “Jadi, selama ini aku menyukainya. Tapi aku tidak berani untuk mengatakan ini padamu. Aku malu.” Tambahnya lagi.

Apa? Jadi selama ini dia juga menyukainya? Seketika, air mata rasanya telah menepi di sudut mataku. “Kau setuju kan jika aku berpacaran dengannya?” timpalnya lagi. Aku terdiam, mulutku serasa kelu untuk menjawab pertanyaannya. Aku sendiri menyukainya, tapi aku tidak mungkin mengatakan ha ini padanya. Akhirnya, aku mengangguk pelan, meski rasanya berat aku lakukan.

Dengan spontan, dia langsung memelukku, bahagia. Ada air mata yang sempat menitih, namun aku buru-buru menyekanya. Aku tidak mau dia bertanya alasan kenapa aku menangis. Biarlah aku simpan rahasia ini, cukup aku yang tahu, jika aku yang mencintainya.

Semenjak perkataan yang beberapa lalu dia katakan padaku, hubunganku dengan Amar memang sedikit merenggang. Beberapa kali aku melihat Amar bersama dengannya, temanku sendiri. Mereka terlihat begitu akrab, hangat. Apakah mereka telah jadian?

Betapa air mata ini selau menetes saat melihat mereka bersama. Dada ini serasa sesak, namun aku harus tegar. Dan hanya bisa berharap, Tuhan akan memberikan yang lebih baik dariku.
-oOo-
Desember,

Malam itu, saat para bintang mulai tersenyum, memancarkan siluet kuningnya berteman sang rembulan yang nampak anggun di tengah gelapnya malam. Entah kenapa, sulit sekali rasanya untuk melupakan semua kejadian yang telah ku lihat. Aku harus mencoba mengikhlaskannya untuk bersama dia.

Saat tangan ini akan mulai menggoreskan tinta di lembar demi lembar kertas, “aaaaaaaa!” teraikku histeris dengan mengacak-acak rambutku. “Kenapa mereka pacaran? Kenapa? Kenapa mereka bisa berduaan di depanku? Kenapa?” teriakku semakin histeris.

Tiba-tiba sebuah suara dari luar memanggilku. Aku terdiam, menghapus air mata yang sempat aku tumpahkan. Lalu aku segera keluar dan menemui orang itu. Lihatlah, dia Amar. Ada apa dia kemari? Pikirku. Aku memandanginya sejenak, kemudian saat aku akan menutup pintu, dia langsung mencegahnya dan menarikku keluar bersamanya. “Lepas!” kataku sedikit kasar.

“Han, kamu kenapa? Kok kamu sekarang menjauh dariku? Kamu marah sama aku?” ujarnya. Aku menggelengkan kepala dan sama sekali tidak melihatnya. Dia menarik tanganku, dan menghadapkanku untuk melihatinya. “Apa kamu cemburu melihat kedekatanku dengan Putri?”

Deg! Aku tersentak. Kenapa dia bisa tahu? Apa hatiku ini berbicara padanya? Pikirku. Aku menggelengkan kepala dengan masih memasang wajah jutek. Dan tiba-tiba saja, dia langsung menggendongku tanpa ku minta. Beberapa kali aku menepuk punggungnya, memintanya agar berhenti, tapi dia tidak menggubrisnya.

Hingga akhirnya, dia menurunkanku. Setelah aku berteriak-teriak di telinganya. “Han, sekarang coba jelaskan padaku. Kenapa akhir-akhir ini kamu menjauh dariku? Kamu cemburu?” ujarnya dengan menatapku dalam.

Aku menggelengkan kepala, “aku tidak cemburu. Aku mau pulang. Permisi.” Dan saat aku akan melangkan pergi darinya, dia kembali memanggilku. Aku mencoba untuk berhenti dan memutar badan untuk melihatinya, kemudian dia menunjukkan sesuatu di depanku. Aku melihatnya, biasa saja. Gelap.

Dan saat aku akan menurunkan pandangan, sebuah kilatan cahaya berubah menjadi bermekaran. Ya, kembang api. Lalu, saat dia akan bersimpuh di depanku, lampion-lampion mulai berterbangan bersama dengan cahaya lilin yang terpancar.

“I love you.” Katanya begitu jelas. Air mata menetes tanpa ku minta, aku mengangguk sebagai tanda iya. Dia langsung memelukku dengan bahagianya.