Kamis, 17 November 2016
Senin, 02 Mei 2016
Minggu, 01 Mei 2016
Rabu, 10 Februari 2016
I Miss You!
I
Miss You
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Pagi itu berselimut kabut. Menjadi penghalang fajar terbit di
ufuk timur. Rasa hangat yang hendak ia belaikan tak terasa. Tubuh Luna dingin
tersapu lembutnya angin.
Tok
tok tok!
Luna
segera beranjak dari tempatnya berbaring. Ia melongok ke luar jendela.
Dilihatnya seorang perempuan muda tampak elegan dengan pakaian yang ia kenakan
sedang bertamu di rumah Farel.
"Siapa
perempuan itu?" gumam Luna.
Lalu
tak lama, seseorang dari dalam rumah itu membukakan pintu. Bola mata Luna
membulat, melihat Farel dan tamu perempuannya bercipika cipiki.
“Hah?
Apa? Jadi perempuan itu pacarnya Farel? Ini ngga bisa dibiarkan!”
Luna
segera pergi ke rumah Farel untuk mencari kebenarannya. Sesampainya di rumah
Farel, perempuan itu terlihat ramah. Ia menyambut Luna dengan senyum yang mengembang di
wajahnya.
"Anda
siapa?" ketus Luna.
"Saya
Marina," jawab perempuan itu dengan ramah.
"Pacarnya
Farel?" Luna memandang Marina seperti tidak suka.
Marina
hanya tertawa kecil dan menyembunyikannya di balik pandangan yang menunduk. Luna dibuat bingung
oleh perempuan di hadapannya
"Kenapa
malah tertawa?"
"Habisnya
pertanyaan Mbak..." belum sempat Marina merampungkan perkatannya, Luna
dengan lancang memotong perkataan Marina,
"Oh,
jadi benar kalian pacaran?"
Luna
duduk di samping Marina,
"Asal
kamu tahu aja ya, Farel itu playboy. Nyesel deh kalau kamu kenal sama dia!
Mending cari pacar yang lain aja!"
"Luna!"
tegas Farel.
Deg!
Luna
terdiam. Dia meneguk ludah. Apakah Farel mendengar perkataannya?
Dengan mata yang memerah, Farel menarik tangan Luna dengan kasar dan membawanya ke luar rumah.
Dengan mata yang memerah, Farel menarik tangan Luna dengan kasar dan membawanya ke luar rumah.
"Apa-apaan
kau ini. Dia tamuku, seharusnya kau tidak menyuruh dia pergi dengan cara
seperti itu!"
"Apa?
Tamu? Dia pacarmu, kan?" ketus Luna seenaknya.
"Jaga
mulutmu! Kali ini kau sangat memalukan, Lun!" kata Farel dengan
menunjukkan jari telunjuk di hadapan Luna.
"Apa?
Jadi kau menyalahkanku?" Luna membela diri.
"Aku
tidak menyalahkanmu. Tapi, aku tidak suka dengan sikapmu
itu. Seharusnya kau tidak berbuat serendah itu!" Farel masih saja
menghakimi Luna.
Perlahan
bulir bening menepi di matanya,
"Lalu
apa yang kau suka dariku? Kau selalu menyalahkan diriku dan tidak pernah
menyukai semua yang aku lakukan! Kau jahat, Rel! Kau jahat!'
Bulir
bening itu akhirnya menetes pula. Luna segera berlari dan lebih memilih pergi
dari Farel.
"Bukan
seperti itu maksudku! Luna!" teriak Farel.
Namun,
Luna tidak mau memberi kesempatan kepada Farel untuk menjelaskan
apa yang ia maksud. Luna pergi dan menghilang di balik rumahnya.
"Aarrgghh!"
Farel melampiaskan kekesalannya dengan mengacak-acak rambutnya.
Entah
salah siapa. Farel hanya tidak ingin Luna berbuat tidak sopan pada tamu. Tapi,
Luna sendiri tidak mau jika Farel bersama dengan perempuan lain. Mereka
pacaran? Biarkan alur ini yang menjawabnya.
***
Suasana Malam itu terasa begitu hening. Suara binatang nokturnal menjadi
pengiring lagu malam. Luna sedang terdiam diri di trampolin yang biasa ia
mainkan bersama dengan Farel. Sembari menatap ke arah bintang dengan mata yang
masih terlihat sembab.
Sebuah
uluran tangan tiba-tiba muncul di
hadapannya, memberinya sebuah sapu tangan.
Luna menerimanya dan
tidak mengatakan apapun padanya. Farel duduk di samping Luna dan
mengikuti apa yang sedang dilakukan Luna, menatap bintang yang bersinar.
Tidak ada pembicaraan
diantara mereka. Hanya kebisuan berselimut dinginnya angin malam.
"Besok
aku akan pergi ke London," suara Farel memecah keheningan.
Luna
tak bergeming. Walau sejujurnya, hatinya sedih jika Farel akan pergi.
"Maafkan
atas sifat kasarku tadi padamu," Luna masih terdiam.
"Ini
malam terakhir kita bisa bersama. Aku harap saat kepergianku nanti, kau mau
mengantarku,"
Nihil.
Luna masih mematung.
"Aku
sayang padamu dan akan selamanya merindukanmu," Farel beranjak pergi.
Deg!
Kristal
bening mengalir kecil. Luna memalingkan muka dan hanya bisa melihat Farel yang
berangsur pergi. Tubuhnya bergetar setelah
mendengar semua yang Farel katakan pada
dirinya.
***
"Farel, kamu
nunggu apa? Ayo berangkat,"
"Iya sebentar lagi," Farel terus saja menunggu seseorang yang ia harapkan datang dan mengantar kepergiannya. Namun sampai pesawat akan berangkat, seseorang itu tak kunjung datang dihadapannya.
Dengan langkah penuh harapan, Farel beranjak pergi dan sesekali menengok ke belakang. Berharap tiba-tiba Luna ada dihadapannya.
Luna berlari secepat mungkin dan segera mencari Farel. Namun itu semua sia-sia. Tak ada satu orangpun yang ia temui disini.
"Mba Mba, pesawat tujuan London udah berangkat?"
"Oh udah Mba. Barusan pesawat itu berangkat,"
Luna terdiam. Apa? Farel sudah pergi? Kembali. Bulir bening perlahan menetes dari matanya. Sirna sudah harapan untuk bertemu dengannya.
"Iya sebentar lagi," Farel terus saja menunggu seseorang yang ia harapkan datang dan mengantar kepergiannya. Namun sampai pesawat akan berangkat, seseorang itu tak kunjung datang dihadapannya.
Dengan langkah penuh harapan, Farel beranjak pergi dan sesekali menengok ke belakang. Berharap tiba-tiba Luna ada dihadapannya.
Luna berlari secepat mungkin dan segera mencari Farel. Namun itu semua sia-sia. Tak ada satu orangpun yang ia temui disini.
"Mba Mba, pesawat tujuan London udah berangkat?"
"Oh udah Mba. Barusan pesawat itu berangkat,"
Luna terdiam. Apa? Farel sudah pergi? Kembali. Bulir bening perlahan menetes dari matanya. Sirna sudah harapan untuk bertemu dengannya.
***
Setelah kepergian Farel, tak ada
sosok sahabat yang biasa menemaninya lagi. Terkadang mereka bermain bersama pada
sebuah trampolin besar di depan rumah mereka. Saling bercanda tawa dan bertukar
cerita.
Ada rasa kehilangan yang
menyelimuti Luna. Seperti yang ia lakukan sekarang. Terdiam dengan tatapan
kosong ke arah luar jendela, memandang trampolin besar yang biasa mereka
bermain bersama.
Hanya ada bayang-bayang semu yang
terlihat dari matanya. Seolah Farel datang dan tersenyum padanya. Rasa rindu
itu telah membangunkan hatinya, bahwa sebenarnya dia yang pergi adalah dia yang
pantas untuknya.
Hingga tak ia sadari, air mata
mulai menepi di sudut matanya. Mengingat akan semua kenangan yang pernah mereka
ukir bersama. Dan kini hanya menjadi sebuah bayangan semu, yang entah sampai
kapan mereka akan bertemu kembali.
Mungkin biar waktu yang menjawab
kisah cinta mereka. Ketika rasa rindu telah hadir, bukan tak mungkin ada jalan
untuk bertemu dengan dia sosok yang kita inginkan.
“I miss you, Rel,” kata Luna disela
air matanya.
***
Tiga
tahun berselang. Akhirnya, Luna mempunyai kesempatan untuk menapakkan kaki di
Negeri Pangeran William. Luna terus menyusuri jalan dengan sesekali melihat ke
arah selembar kertas di tangannya. Ia bermaksud untuk mencari keberadaan Farel.
Sampai
akhirnya di depan sebuah rumah, ia melihat benda
kecil yang tak asing lagi di matanya. Saat ia dekati, ternyata benar. Benda itu
adalah lonceng yang sempat ia berikan pada Farel beberapa tahun lalu.
Keyakinannya bertambah kuat. Dia yakin ini adalah tempat dimana Farel tinggal.
Lalu dari belakang, seseorang memanggilnya.
"Luna?"
Luna
menengok ke belakang. Dilihatnya seseorang yang sangat ia kenali. Dengan senyum
bahagia, Luna berlari menghampiri orang itu.
"Ada
apa kau kemari?"
"Aku
datang untuk menjemput cintaku. Aku, merindukanmu," ujar Luna dengan
senyum bahagia.
Perlahan
sebuah senyuman tersungging di wajah tampan Farel. Dia merasa senang. Akhirnya,
orang yang ia harapkan datang juga.
Hap!
Farel menarik tangan Luna dan menjatuhkannya dalam pelukan hangat. Seraya
membisikan,
"Aku
juga merindukanmu. Jangan pernah pergi lagi. Aku menyayangimu,"
Sebenarnya
rindu adalah dimana perasaan dan ingatan kita tersadar akan sesuatu hal yang
kita rasa menghilang. Rasa rindu itu telah membawanya datang untuk menjemput
seseorang yang ia inginkan.
Cerpen Cinta : "December Wish"
December Wish
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Ketika sebuah harapan menjadi kenyataan, disaat itulah cinta datang
bersama dengan datangnya kebahagiaan. Kita ngga pernah tahu, kapan keajaiban
akan bertamu, dan meminta kita untuk takjub padanya. Dan aku juga ngga pernah
tahu, jika nantinya dia akan jadi milikku.



Pertemuan waktu itu, yang tak sengaja terjadi, membuatku mengenali
sosok itu, Amar. Setelah satu bulan berselang, selama itulah kedekatanku
dengannya terjalin. Aku tidak menyangka, jika pertemuan itu akan membuatku
merasa ... em entah apa. Terkadang aku merasa nyaman saat didekatnya, tapi apa
ini yang dinamakan cinta? Entahlah.
Hari itu, saat daun-daun bintang kering berjatuhan dari tangkai
yang telah membesarkannya, bersama dengan semilir angin yang berhembus pelan,
membuat ranting saling bergesekan seakan mengalunkan sebuah melodi.
Kami berjalan beriringan, melewati jalan setapak dengan berteman
pohon-pohon nan rindang di sepanjang jalan. Nyaman, tenang, sejuk. Itulah yang
aku rasakan. “Mmm, kamu tahu ngga apa itu cinta?” ketusnya dengan mata
menerawang ke arah langit biru, sembari memasukkan tangannya ke dalam saku
jaketnya.
Aku terdiam, lalu dia menoleh ke arahku. “Kamu tidak tahu?” katanya
lagi. Aku menggelengkan kepala, dan dia hanya tersenyum lalu kembali tidak
menghadapku. Sungguh, apa maksud tertawanya itu? Kau sedang menghinaku?
“Memangnya apa itu cinta?” sahutku yang merasa jengkel dengan
senyumnya seolah meledekku. Dia terdiam, menghentikan langkahnya, kemudian
kembali menoleh ke arahku. Perlahan, perlahan, perlahan, perlahan, dia memegang
bahuku. Aku bisa merasakan cengkeraman tangannya dan desiran nafas yang
berhembus darinya.
“Cinta itu, saat aku dan kamu menjadi kita.” Ujarnya.
Deg! Seketika jantungku berdetak cepat, pengin copot rasanya.
Sungguh, aku dibuat terkejut setengah mati olehnya. Entah kenapa setelah dia
melihat ekspresi kagetku, tiba-tiba saja dia tertawa dan melepaskan tangannya
di pundakku.
Apa yang dikatakannya benar? Apa memang dia menaruh perasaan
padaku? Apa dia tahu isi hatiku? Sungguh. Pikirku yang masih mencoba untuk
mencerna kata-katanya barusan.
“Jangan diambil hati. Aku hanya bercanda!” sahutnya yang tanpa aku
sadari dia telah berada jauh di depanku.
Aku segera berlarian kecil untuk menghampirinya. “Hu! Kau ini.”
Celutakku seraya menyikut perutnya dan memasang wajah kesal. Dia hanya tertawa
melihat tingkahku. “Ngga lucu tahu!” sambungku yang masih jengkel dibuatnya.
Lalu aku kembali berjalan dengan sedikit mempercepat langkah kaki agar bisa
lebih jauh darinya.
“Hana, Hana. Tunggu!” teraiknya, memintaku untuk berhenti. Tapi aku
tidak peduli. “Hana tunggu!” katanya yang telah berada di sampingku. Langkahku
terhenti, lalu dia langsung menggenggam tanganku. Oh, apakah dia akan
menjahiliku lagi?
“Dalam hitungan ketiga, saat aku bilang lari, kau harus lari.”
Ujarnya dengan tatapan tajam ke depan. Aku mencoba untuk melihat ke depan,
memastikan sesuatu hal yang akan terjadi. Tapi, semua terlihat biasa saja,
tidak ada apa-apa. “Satu, dua,” katanya lirih.
“Me memangnya ...” belum sempat aku berbicara, “tigaaaaa, lariiiii
!” tambahnya yang langsung menarik tanganku, membawaku lari bersamanya. “Kenapaaaaaaaa?”
lanjut perkataanku dengan berteriak.
Dia tidak menjawab, dan seketika daun-daun bintang mulai berguguran
dari tangkainya. Saat sang angin menghampiri mereka, dan memintanya untuk
meninggalkan tangkai yang telah membesarkannya.
Langkahku perlahan mulai melambat, mataku takjub akan daun-daun
bintang yang berguguran itu. Seakan daun-daun bintang itu menari-nari di depanku.
Sekarang aku tahu, mungkin ini adalah yang dimaksud olehnya. Sungguh, dia
berhasil membuatku terpaku dengan hal sederhana ini.
Bagai di musim gugur, helai demi helai daun bintang berjatuhan,
satu diantaranya menghampiriku. Dan saat aku mencoba untuk menyentuhnya, sang
angin seakan memintanya untuk kembali terbang.
Hingga tak ku sadari, senyum bahagia telah merekah di wajahku.
Menghilangkan wajah cemberutku itu. Aku menari-nari, berputar-putar, memejamkan
mata, dan merasakan kesejukan angin menghampiri hatiku. Teduh.
Lalu aku kembali membuka mata, melihat dia yang tampak senang
melihatku. Oh Tuhan, inikah kebahagiaan yang akan kau rencanakan? Jika iya, aku
mohon, jangan biarkan kebahagiaa ini sirna, aku ingin tetap merasakan ini,
bersamanya, hanya dengan bersamanya.
-oOo-
“Hana! Hana!”
Aku mencoba untuk menengok ke arah seseorang yang memanggil namaku.
Oh dia. Pikirku. Lalu aku kembali melanjutkan membaca buku. “Rupanya disini,
dicariin juga.” Ketusnya seraya duduk di sampingku.
“Eh kamu tahu ngga?” katanya. Aku tidak peduli, aku masih sibuk
dengan kata-kata dalam buku yang sedang aku baca, padahal aku tidak bertanya
kenapa, tapi dia melanjutkan perkatannya padaku. “Amar.” Ketusnya yang seketika
membuatku terperanjat dan menghentikan membacaku.
“Amar? Memangnya apa yang terjadi dengan dia?” tanyaku penuh
antusias. Dia sempat memandangiku heran, mungkin karena sikap terkejutku yang
tiba-tiba saat dia menyebut nama ‘Amar’.
Aku mencoba untuk mengkontrol diri, dan dia tidak bertanya apapun atas
kesepontananku.
“Aku, suka, sama, Amar.”
Duaaarrrr! Seketika hatiku serasa hancur mendengarnya. Dia
mengatakan itu dengan begitu tegasnya di telingaku. “Jadi, selama ini aku
menyukainya. Tapi aku tidak berani untuk mengatakan ini padamu. Aku malu.”
Tambahnya lagi.
Apa? Jadi selama ini dia juga menyukainya? Seketika, air mata
rasanya telah menepi di sudut mataku. “Kau setuju kan jika aku berpacaran
dengannya?” timpalnya lagi. Aku terdiam, mulutku serasa kelu untuk menjawab
pertanyaannya. Aku sendiri menyukainya, tapi aku tidak mungkin mengatakan ha
ini padanya. Akhirnya, aku mengangguk pelan, meski rasanya berat aku lakukan.
Dengan spontan, dia langsung memelukku, bahagia. Ada air mata yang
sempat menitih, namun aku buru-buru menyekanya. Aku tidak mau dia bertanya
alasan kenapa aku menangis. Biarlah aku simpan rahasia ini, cukup aku yang
tahu, jika aku yang mencintainya.
Semenjak perkataan yang beberapa lalu dia katakan padaku,
hubunganku dengan Amar memang sedikit merenggang. Beberapa kali aku melihat
Amar bersama dengannya, temanku sendiri. Mereka terlihat begitu akrab, hangat.
Apakah mereka telah jadian?
Betapa air mata ini selau menetes saat melihat mereka bersama. Dada
ini serasa sesak, namun aku harus tegar. Dan hanya bisa berharap, Tuhan akan
memberikan yang lebih baik dariku.
-oOo-
Desember,
Malam itu, saat para bintang mulai tersenyum, memancarkan siluet
kuningnya berteman sang rembulan yang nampak anggun di tengah gelapnya malam.
Entah kenapa, sulit sekali rasanya untuk melupakan semua kejadian yang telah ku
lihat. Aku harus mencoba mengikhlaskannya untuk bersama dia.
Saat tangan ini akan mulai menggoreskan tinta di lembar demi lembar
kertas, “aaaaaaaa!” teraikku histeris dengan mengacak-acak rambutku. “Kenapa
mereka pacaran? Kenapa? Kenapa mereka bisa berduaan di depanku? Kenapa?”
teriakku semakin histeris.
Tiba-tiba sebuah suara dari luar memanggilku. Aku terdiam,
menghapus air mata yang sempat aku tumpahkan. Lalu aku segera keluar dan
menemui orang itu. Lihatlah, dia Amar. Ada apa dia kemari? Pikirku. Aku
memandanginya sejenak, kemudian saat aku akan menutup pintu, dia langsung
mencegahnya dan menarikku keluar bersamanya. “Lepas!” kataku sedikit kasar.
“Han, kamu kenapa? Kok kamu sekarang menjauh dariku? Kamu marah
sama aku?” ujarnya. Aku menggelengkan kepala dan sama sekali tidak melihatnya.
Dia menarik tanganku, dan menghadapkanku untuk melihatinya. “Apa kamu cemburu
melihat kedekatanku dengan Putri?”
Deg! Aku tersentak. Kenapa dia bisa tahu? Apa hatiku ini berbicara
padanya? Pikirku. Aku menggelengkan kepala dengan masih memasang wajah jutek.
Dan tiba-tiba saja, dia langsung menggendongku tanpa ku minta. Beberapa kali
aku menepuk punggungnya, memintanya agar berhenti, tapi dia tidak
menggubrisnya.
Hingga akhirnya, dia menurunkanku. Setelah aku berteriak-teriak di
telinganya. “Han, sekarang coba jelaskan padaku. Kenapa akhir-akhir ini kamu
menjauh dariku? Kamu cemburu?” ujarnya dengan menatapku dalam.
Aku menggelengkan kepala, “aku tidak cemburu. Aku mau pulang.
Permisi.” Dan saat aku akan melangkan pergi darinya, dia kembali memanggilku.
Aku mencoba untuk berhenti dan memutar badan untuk melihatinya, kemudian dia
menunjukkan sesuatu di depanku. Aku melihatnya, biasa saja. Gelap.
Dan saat aku akan menurunkan pandangan, sebuah kilatan cahaya
berubah menjadi bermekaran. Ya, kembang api. Lalu, saat dia akan bersimpuh di
depanku, lampion-lampion mulai berterbangan bersama dengan cahaya lilin yang
terpancar.
“I love you.” Katanya begitu jelas. Air mata menetes tanpa ku
minta, aku mengangguk sebagai tanda iya. Dia langsung memelukku dengan
bahagianya.
Langganan:
Postingan (Atom)