Rabu, 10 Februari 2016

Cerpen Cinta : "December Wish"



December Wish
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Ketika sebuah harapan menjadi kenyataan, disaat itulah cinta datang bersama dengan datangnya kebahagiaan. Kita ngga pernah tahu, kapan keajaiban akan bertamu, dan meminta kita untuk takjub padanya. Dan aku juga ngga pernah tahu, jika nantinya dia akan jadi milikku.
    
Pertemuan waktu itu, yang tak sengaja terjadi, membuatku mengenali sosok itu, Amar. Setelah satu bulan berselang, selama itulah kedekatanku dengannya terjalin. Aku tidak menyangka, jika pertemuan itu akan membuatku merasa ... em entah apa. Terkadang aku merasa nyaman saat didekatnya, tapi apa ini yang dinamakan cinta? Entahlah.

Hari itu, saat daun-daun bintang kering berjatuhan dari tangkai yang telah membesarkannya, bersama dengan semilir angin yang berhembus pelan, membuat ranting saling bergesekan seakan mengalunkan sebuah melodi.

Kami berjalan beriringan, melewati jalan setapak dengan berteman pohon-pohon nan rindang di sepanjang jalan. Nyaman, tenang, sejuk. Itulah yang aku rasakan. “Mmm, kamu tahu ngga apa itu cinta?” ketusnya dengan mata menerawang ke arah langit biru, sembari memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya.

Aku terdiam, lalu dia menoleh ke arahku. “Kamu tidak tahu?” katanya lagi. Aku menggelengkan kepala, dan dia hanya tersenyum lalu kembali tidak menghadapku. Sungguh, apa maksud tertawanya itu? Kau sedang menghinaku?

“Memangnya apa itu cinta?” sahutku yang merasa jengkel dengan senyumnya seolah meledekku. Dia terdiam, menghentikan langkahnya, kemudian kembali menoleh ke arahku. Perlahan, perlahan, perlahan, perlahan, dia memegang bahuku. Aku bisa merasakan cengkeraman tangannya dan desiran nafas yang berhembus darinya.

“Cinta itu, saat aku dan kamu menjadi kita.” Ujarnya.

Deg! Seketika jantungku berdetak cepat, pengin copot rasanya. Sungguh, aku dibuat terkejut setengah mati olehnya. Entah kenapa setelah dia melihat ekspresi kagetku, tiba-tiba saja dia tertawa dan melepaskan tangannya di pundakku.

Apa yang dikatakannya benar? Apa memang dia menaruh perasaan padaku? Apa dia tahu isi hatiku? Sungguh. Pikirku yang masih mencoba untuk mencerna kata-katanya barusan.

“Jangan diambil hati. Aku hanya bercanda!” sahutnya yang tanpa aku sadari dia telah berada jauh di depanku.

Aku segera berlarian kecil untuk menghampirinya. “Hu! Kau ini.” Celutakku seraya menyikut perutnya dan memasang wajah kesal. Dia hanya tertawa melihat tingkahku. “Ngga lucu tahu!” sambungku yang masih jengkel dibuatnya. Lalu aku kembali berjalan dengan sedikit mempercepat langkah kaki agar bisa lebih jauh darinya.

“Hana, Hana. Tunggu!” teraiknya, memintaku untuk berhenti. Tapi aku tidak peduli. “Hana tunggu!” katanya yang telah berada di sampingku. Langkahku terhenti, lalu dia langsung menggenggam tanganku. Oh, apakah dia akan menjahiliku lagi?

“Dalam hitungan ketiga, saat aku bilang lari, kau harus lari.” Ujarnya dengan tatapan tajam ke depan. Aku mencoba untuk melihat ke depan, memastikan sesuatu hal yang akan terjadi. Tapi, semua terlihat biasa saja, tidak ada apa-apa. “Satu, dua,” katanya lirih.

“Me memangnya ...” belum sempat aku berbicara, “tigaaaaa, lariiiii !” tambahnya yang langsung menarik tanganku, membawaku lari bersamanya. “Kenapaaaaaaaa?” lanjut perkataanku dengan berteriak.

Dia tidak menjawab, dan seketika daun-daun bintang mulai berguguran dari tangkainya. Saat sang angin menghampiri mereka, dan memintanya untuk meninggalkan tangkai yang telah membesarkannya.

Langkahku perlahan mulai melambat, mataku takjub akan daun-daun bintang yang berguguran itu. Seakan daun-daun bintang itu menari-nari di depanku. Sekarang aku tahu, mungkin ini adalah yang dimaksud olehnya. Sungguh, dia berhasil membuatku terpaku dengan hal sederhana ini.

Bagai di musim gugur, helai demi helai daun bintang berjatuhan, satu diantaranya menghampiriku. Dan saat aku mencoba untuk menyentuhnya, sang angin seakan memintanya untuk kembali terbang.

Hingga tak ku sadari, senyum bahagia telah merekah di wajahku. Menghilangkan wajah cemberutku itu. Aku menari-nari, berputar-putar, memejamkan mata, dan merasakan kesejukan angin menghampiri hatiku. Teduh.

Lalu aku kembali membuka mata, melihat dia yang tampak senang melihatku. Oh Tuhan, inikah kebahagiaan yang akan kau rencanakan? Jika iya, aku mohon, jangan biarkan kebahagiaa ini sirna, aku ingin tetap merasakan ini, bersamanya, hanya dengan bersamanya.
-oOo-
“Hana! Hana!”

Aku mencoba untuk menengok ke arah seseorang yang memanggil namaku. Oh dia. Pikirku. Lalu aku kembali melanjutkan membaca buku. “Rupanya disini, dicariin juga.” Ketusnya seraya duduk di sampingku.

“Eh kamu tahu ngga?” katanya. Aku tidak peduli, aku masih sibuk dengan kata-kata dalam buku yang sedang aku baca, padahal aku tidak bertanya kenapa, tapi dia melanjutkan perkatannya padaku. “Amar.” Ketusnya yang seketika membuatku terperanjat dan menghentikan membacaku.

“Amar? Memangnya apa yang terjadi dengan dia?” tanyaku penuh antusias. Dia sempat memandangiku heran, mungkin karena sikap terkejutku yang tiba-tiba saat dia menyebut nama ‘Amar’.  Aku mencoba untuk mengkontrol diri, dan dia tidak bertanya apapun atas kesepontananku.

“Aku, suka, sama, Amar.”

Duaaarrrr! Seketika hatiku serasa hancur mendengarnya. Dia mengatakan itu dengan begitu tegasnya di telingaku. “Jadi, selama ini aku menyukainya. Tapi aku tidak berani untuk mengatakan ini padamu. Aku malu.” Tambahnya lagi.

Apa? Jadi selama ini dia juga menyukainya? Seketika, air mata rasanya telah menepi di sudut mataku. “Kau setuju kan jika aku berpacaran dengannya?” timpalnya lagi. Aku terdiam, mulutku serasa kelu untuk menjawab pertanyaannya. Aku sendiri menyukainya, tapi aku tidak mungkin mengatakan ha ini padanya. Akhirnya, aku mengangguk pelan, meski rasanya berat aku lakukan.

Dengan spontan, dia langsung memelukku, bahagia. Ada air mata yang sempat menitih, namun aku buru-buru menyekanya. Aku tidak mau dia bertanya alasan kenapa aku menangis. Biarlah aku simpan rahasia ini, cukup aku yang tahu, jika aku yang mencintainya.

Semenjak perkataan yang beberapa lalu dia katakan padaku, hubunganku dengan Amar memang sedikit merenggang. Beberapa kali aku melihat Amar bersama dengannya, temanku sendiri. Mereka terlihat begitu akrab, hangat. Apakah mereka telah jadian?

Betapa air mata ini selau menetes saat melihat mereka bersama. Dada ini serasa sesak, namun aku harus tegar. Dan hanya bisa berharap, Tuhan akan memberikan yang lebih baik dariku.
-oOo-
Desember,

Malam itu, saat para bintang mulai tersenyum, memancarkan siluet kuningnya berteman sang rembulan yang nampak anggun di tengah gelapnya malam. Entah kenapa, sulit sekali rasanya untuk melupakan semua kejadian yang telah ku lihat. Aku harus mencoba mengikhlaskannya untuk bersama dia.

Saat tangan ini akan mulai menggoreskan tinta di lembar demi lembar kertas, “aaaaaaaa!” teraikku histeris dengan mengacak-acak rambutku. “Kenapa mereka pacaran? Kenapa? Kenapa mereka bisa berduaan di depanku? Kenapa?” teriakku semakin histeris.

Tiba-tiba sebuah suara dari luar memanggilku. Aku terdiam, menghapus air mata yang sempat aku tumpahkan. Lalu aku segera keluar dan menemui orang itu. Lihatlah, dia Amar. Ada apa dia kemari? Pikirku. Aku memandanginya sejenak, kemudian saat aku akan menutup pintu, dia langsung mencegahnya dan menarikku keluar bersamanya. “Lepas!” kataku sedikit kasar.

“Han, kamu kenapa? Kok kamu sekarang menjauh dariku? Kamu marah sama aku?” ujarnya. Aku menggelengkan kepala dan sama sekali tidak melihatnya. Dia menarik tanganku, dan menghadapkanku untuk melihatinya. “Apa kamu cemburu melihat kedekatanku dengan Putri?”

Deg! Aku tersentak. Kenapa dia bisa tahu? Apa hatiku ini berbicara padanya? Pikirku. Aku menggelengkan kepala dengan masih memasang wajah jutek. Dan tiba-tiba saja, dia langsung menggendongku tanpa ku minta. Beberapa kali aku menepuk punggungnya, memintanya agar berhenti, tapi dia tidak menggubrisnya.

Hingga akhirnya, dia menurunkanku. Setelah aku berteriak-teriak di telinganya. “Han, sekarang coba jelaskan padaku. Kenapa akhir-akhir ini kamu menjauh dariku? Kamu cemburu?” ujarnya dengan menatapku dalam.

Aku menggelengkan kepala, “aku tidak cemburu. Aku mau pulang. Permisi.” Dan saat aku akan melangkan pergi darinya, dia kembali memanggilku. Aku mencoba untuk berhenti dan memutar badan untuk melihatinya, kemudian dia menunjukkan sesuatu di depanku. Aku melihatnya, biasa saja. Gelap.

Dan saat aku akan menurunkan pandangan, sebuah kilatan cahaya berubah menjadi bermekaran. Ya, kembang api. Lalu, saat dia akan bersimpuh di depanku, lampion-lampion mulai berterbangan bersama dengan cahaya lilin yang terpancar.

“I love you.” Katanya begitu jelas. Air mata menetes tanpa ku minta, aku mengangguk sebagai tanda iya. Dia langsung memelukku dengan bahagianya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar