December Wish
Oleh : Anna Jihan Oktiana
Ketika sebuah harapan menjadi kenyataan, disaat itulah cinta datang
bersama dengan datangnya kebahagiaan. Kita ngga pernah tahu, kapan keajaiban
akan bertamu, dan meminta kita untuk takjub padanya. Dan aku juga ngga pernah
tahu, jika nantinya dia akan jadi milikku.



Pertemuan waktu itu, yang tak sengaja terjadi, membuatku mengenali
sosok itu, Amar. Setelah satu bulan berselang, selama itulah kedekatanku
dengannya terjalin. Aku tidak menyangka, jika pertemuan itu akan membuatku
merasa ... em entah apa. Terkadang aku merasa nyaman saat didekatnya, tapi apa
ini yang dinamakan cinta? Entahlah.
Hari itu, saat daun-daun bintang kering berjatuhan dari tangkai
yang telah membesarkannya, bersama dengan semilir angin yang berhembus pelan,
membuat ranting saling bergesekan seakan mengalunkan sebuah melodi.
Kami berjalan beriringan, melewati jalan setapak dengan berteman
pohon-pohon nan rindang di sepanjang jalan. Nyaman, tenang, sejuk. Itulah yang
aku rasakan. “Mmm, kamu tahu ngga apa itu cinta?” ketusnya dengan mata
menerawang ke arah langit biru, sembari memasukkan tangannya ke dalam saku
jaketnya.
Aku terdiam, lalu dia menoleh ke arahku. “Kamu tidak tahu?” katanya
lagi. Aku menggelengkan kepala, dan dia hanya tersenyum lalu kembali tidak
menghadapku. Sungguh, apa maksud tertawanya itu? Kau sedang menghinaku?
“Memangnya apa itu cinta?” sahutku yang merasa jengkel dengan
senyumnya seolah meledekku. Dia terdiam, menghentikan langkahnya, kemudian
kembali menoleh ke arahku. Perlahan, perlahan, perlahan, perlahan, dia memegang
bahuku. Aku bisa merasakan cengkeraman tangannya dan desiran nafas yang
berhembus darinya.
“Cinta itu, saat aku dan kamu menjadi kita.” Ujarnya.
Deg! Seketika jantungku berdetak cepat, pengin copot rasanya.
Sungguh, aku dibuat terkejut setengah mati olehnya. Entah kenapa setelah dia
melihat ekspresi kagetku, tiba-tiba saja dia tertawa dan melepaskan tangannya
di pundakku.
Apa yang dikatakannya benar? Apa memang dia menaruh perasaan
padaku? Apa dia tahu isi hatiku? Sungguh. Pikirku yang masih mencoba untuk
mencerna kata-katanya barusan.
“Jangan diambil hati. Aku hanya bercanda!” sahutnya yang tanpa aku
sadari dia telah berada jauh di depanku.
Aku segera berlarian kecil untuk menghampirinya. “Hu! Kau ini.”
Celutakku seraya menyikut perutnya dan memasang wajah kesal. Dia hanya tertawa
melihat tingkahku. “Ngga lucu tahu!” sambungku yang masih jengkel dibuatnya.
Lalu aku kembali berjalan dengan sedikit mempercepat langkah kaki agar bisa
lebih jauh darinya.
“Hana, Hana. Tunggu!” teraiknya, memintaku untuk berhenti. Tapi aku
tidak peduli. “Hana tunggu!” katanya yang telah berada di sampingku. Langkahku
terhenti, lalu dia langsung menggenggam tanganku. Oh, apakah dia akan
menjahiliku lagi?
“Dalam hitungan ketiga, saat aku bilang lari, kau harus lari.”
Ujarnya dengan tatapan tajam ke depan. Aku mencoba untuk melihat ke depan,
memastikan sesuatu hal yang akan terjadi. Tapi, semua terlihat biasa saja,
tidak ada apa-apa. “Satu, dua,” katanya lirih.
“Me memangnya ...” belum sempat aku berbicara, “tigaaaaa, lariiiii
!” tambahnya yang langsung menarik tanganku, membawaku lari bersamanya. “Kenapaaaaaaaa?”
lanjut perkataanku dengan berteriak.
Dia tidak menjawab, dan seketika daun-daun bintang mulai berguguran
dari tangkainya. Saat sang angin menghampiri mereka, dan memintanya untuk
meninggalkan tangkai yang telah membesarkannya.
Langkahku perlahan mulai melambat, mataku takjub akan daun-daun
bintang yang berguguran itu. Seakan daun-daun bintang itu menari-nari di depanku.
Sekarang aku tahu, mungkin ini adalah yang dimaksud olehnya. Sungguh, dia
berhasil membuatku terpaku dengan hal sederhana ini.
Bagai di musim gugur, helai demi helai daun bintang berjatuhan,
satu diantaranya menghampiriku. Dan saat aku mencoba untuk menyentuhnya, sang
angin seakan memintanya untuk kembali terbang.
Hingga tak ku sadari, senyum bahagia telah merekah di wajahku.
Menghilangkan wajah cemberutku itu. Aku menari-nari, berputar-putar, memejamkan
mata, dan merasakan kesejukan angin menghampiri hatiku. Teduh.
Lalu aku kembali membuka mata, melihat dia yang tampak senang
melihatku. Oh Tuhan, inikah kebahagiaan yang akan kau rencanakan? Jika iya, aku
mohon, jangan biarkan kebahagiaa ini sirna, aku ingin tetap merasakan ini,
bersamanya, hanya dengan bersamanya.
-oOo-
“Hana! Hana!”
Aku mencoba untuk menengok ke arah seseorang yang memanggil namaku.
Oh dia. Pikirku. Lalu aku kembali melanjutkan membaca buku. “Rupanya disini,
dicariin juga.” Ketusnya seraya duduk di sampingku.
“Eh kamu tahu ngga?” katanya. Aku tidak peduli, aku masih sibuk
dengan kata-kata dalam buku yang sedang aku baca, padahal aku tidak bertanya
kenapa, tapi dia melanjutkan perkatannya padaku. “Amar.” Ketusnya yang seketika
membuatku terperanjat dan menghentikan membacaku.
“Amar? Memangnya apa yang terjadi dengan dia?” tanyaku penuh
antusias. Dia sempat memandangiku heran, mungkin karena sikap terkejutku yang
tiba-tiba saat dia menyebut nama ‘Amar’.
Aku mencoba untuk mengkontrol diri, dan dia tidak bertanya apapun atas
kesepontananku.
“Aku, suka, sama, Amar.”
Duaaarrrr! Seketika hatiku serasa hancur mendengarnya. Dia
mengatakan itu dengan begitu tegasnya di telingaku. “Jadi, selama ini aku
menyukainya. Tapi aku tidak berani untuk mengatakan ini padamu. Aku malu.”
Tambahnya lagi.
Apa? Jadi selama ini dia juga menyukainya? Seketika, air mata
rasanya telah menepi di sudut mataku. “Kau setuju kan jika aku berpacaran
dengannya?” timpalnya lagi. Aku terdiam, mulutku serasa kelu untuk menjawab
pertanyaannya. Aku sendiri menyukainya, tapi aku tidak mungkin mengatakan ha
ini padanya. Akhirnya, aku mengangguk pelan, meski rasanya berat aku lakukan.
Dengan spontan, dia langsung memelukku, bahagia. Ada air mata yang
sempat menitih, namun aku buru-buru menyekanya. Aku tidak mau dia bertanya
alasan kenapa aku menangis. Biarlah aku simpan rahasia ini, cukup aku yang
tahu, jika aku yang mencintainya.
Semenjak perkataan yang beberapa lalu dia katakan padaku,
hubunganku dengan Amar memang sedikit merenggang. Beberapa kali aku melihat
Amar bersama dengannya, temanku sendiri. Mereka terlihat begitu akrab, hangat.
Apakah mereka telah jadian?
Betapa air mata ini selau menetes saat melihat mereka bersama. Dada
ini serasa sesak, namun aku harus tegar. Dan hanya bisa berharap, Tuhan akan
memberikan yang lebih baik dariku.
-oOo-
Desember,
Malam itu, saat para bintang mulai tersenyum, memancarkan siluet
kuningnya berteman sang rembulan yang nampak anggun di tengah gelapnya malam.
Entah kenapa, sulit sekali rasanya untuk melupakan semua kejadian yang telah ku
lihat. Aku harus mencoba mengikhlaskannya untuk bersama dia.
Saat tangan ini akan mulai menggoreskan tinta di lembar demi lembar
kertas, “aaaaaaaa!” teraikku histeris dengan mengacak-acak rambutku. “Kenapa
mereka pacaran? Kenapa? Kenapa mereka bisa berduaan di depanku? Kenapa?”
teriakku semakin histeris.
Tiba-tiba sebuah suara dari luar memanggilku. Aku terdiam,
menghapus air mata yang sempat aku tumpahkan. Lalu aku segera keluar dan
menemui orang itu. Lihatlah, dia Amar. Ada apa dia kemari? Pikirku. Aku
memandanginya sejenak, kemudian saat aku akan menutup pintu, dia langsung
mencegahnya dan menarikku keluar bersamanya. “Lepas!” kataku sedikit kasar.
“Han, kamu kenapa? Kok kamu sekarang menjauh dariku? Kamu marah
sama aku?” ujarnya. Aku menggelengkan kepala dan sama sekali tidak melihatnya.
Dia menarik tanganku, dan menghadapkanku untuk melihatinya. “Apa kamu cemburu
melihat kedekatanku dengan Putri?”
Deg! Aku tersentak. Kenapa dia bisa tahu? Apa hatiku ini berbicara
padanya? Pikirku. Aku menggelengkan kepala dengan masih memasang wajah jutek.
Dan tiba-tiba saja, dia langsung menggendongku tanpa ku minta. Beberapa kali
aku menepuk punggungnya, memintanya agar berhenti, tapi dia tidak
menggubrisnya.
Hingga akhirnya, dia menurunkanku. Setelah aku berteriak-teriak di
telinganya. “Han, sekarang coba jelaskan padaku. Kenapa akhir-akhir ini kamu
menjauh dariku? Kamu cemburu?” ujarnya dengan menatapku dalam.
Aku menggelengkan kepala, “aku tidak cemburu. Aku mau pulang.
Permisi.” Dan saat aku akan melangkan pergi darinya, dia kembali memanggilku.
Aku mencoba untuk berhenti dan memutar badan untuk melihatinya, kemudian dia
menunjukkan sesuatu di depanku. Aku melihatnya, biasa saja. Gelap.
Dan saat aku akan menurunkan pandangan, sebuah kilatan cahaya
berubah menjadi bermekaran. Ya, kembang api. Lalu, saat dia akan bersimpuh di
depanku, lampion-lampion mulai berterbangan bersama dengan cahaya lilin yang
terpancar.
“I love you.” Katanya begitu jelas. Air mata menetes tanpa ku
minta, aku mengangguk sebagai tanda iya. Dia langsung memelukku dengan
bahagianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar