Mother Is An
Angel All My Life
Pagi itu, saat embun-embun tampak masih
bergelayut, dan seakan enggan untuk tergelincir pada tangkai-tangkai pohon yang
memintanya untuk terjatuh. Ditambah suara kicauan burung di atas ranting pohon,
menyambut mentari pagi yang hendak terbit di ufuk timur.
Suara-suara gesekan bambu yang seolah
memainkan lagu berteman dengan semilir angin yang mencoba untuk berhembus
pelan.
Seberkas cahaya matahari telah memasuki
kamarku, disana aku sedang berkaca diri, melihat pantulan diriku pagi ini. Aku
mengenakan baju kerjaku, terlihat sederhana namun elegan. Setelah wajah
terpoles make up yang tidak terlalu tebal, mata ini aku tambahkan eyeliner agar
terlihat lebih segar. Dan tak lupa, bibir ini aku kecupkan lips gloss yang
tidak terlalu pekat. Sempurna, natural.
“Shalu,” sahut ibuku sembari masuk ke
dalam kamar. “Tadi ibu habis ke pasar, dan ibu suka sama baju ini. Jadi, ibu
membelikannya untukmu.” Sambung ibu seraya menunjukkan baju yang baru
dibelinya.
Aku melihatinya, sejenak aku berpikir.
Baju itu sungguh sederhana, terlebih ibu membelinya di pasar. “Kamu suka kan?”
ketus ibu dengan wajah berseri-serinya.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan
baju yang dibelikan ibu, karena tidak sesuai dengan model kesukaanku. Tapi aku
tak mungkin menolaknya, terlebih membuat wajah ibu yang berseri-seri ini
menjadi cemberut. Oh tidak, aku tidak menyukai itu.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis
pada ibu. “Alhamdulilah. Kalau begitu kamu coba ya?” ujar ibuku.
“Eeee kapan-kapan aja ya, Bu? Lagian
Shalu sudah pakai baju, dan Shalu harus segera berangkat sebelum terlambat.”
Kataku yang sebenarnya sedang menolak ibu dengan pelan.
Ibu mengangguk dan kembali melipat baju
itu. Ditaruhnya baju itu di dalam lemariku. “Ya sudah tidak apa-apa.”
Aku mengangguk. “Bu, Shalu berangkat dulu
ya? Assalamu’alaikum.” Kataku dengan mencium punggung tangan ibu.
“Wa’alaikum salam.” Balasnya dengan penuh
senyuman.
-oOo-
Hari berganti minggu, dan minggu
melanjutkan ke peraduan bulan. Malam telah tertidur, bersama sang rembulan dan
para bintang. Meminta sang fajar untuk kembali menyingsing. Menyambut hari yang
terus berputar.
“Shalu, kenapa baju yang ibu belikan
tidak kamu pakai, Nak?” sahut ibu yang masuk ke dalam kamarku.
“Iya, Bu. Nanti Shalu juga akan memakainya.”
Kataku yang tak sedikitpun untuk melihat ke arah ibu.
“Tapi ibu ingin lihat kamu pakai baju
itu.” Ujar ibuku.
Aku mengangguk. “Iya, Ibu. Sekarang Shalu
harus berangkat dulu.” Kataku pelan. Tapi ibuku terus memaksa agar aku memakai
baju yang dibelikannya, hingga akhirnya “Ibu!!” teriakku. Seketika, ibuku
terdiam, memandangi baju yang kulempar.
Ibu hanya terdiam, dan aku bisa melihat,
melihat air mata yang akan mengucur dari matanya. Tapi entahlah, aku malah
berlalu pergi meninggalkan ibu begitu saja.
-oOo-
Aku hanya bisa terdiam di depan meja
kerjaku. Teringat akan kejadian tadi yang barusan aku lakukan pada ibu.
Sungguh, hati ini sangat menyesal ibu. Membiarkan air matanya yang begitu
berharga terjatuh, ini semua salahku, ibu. Maafkan aku.
Namun, pikiran itu aku coba hilangkan
sejenak. Tidak mungkin bagiku untuk terus-terusan memikirkannya, toh banyak
pekerjaan yang harus aku selesaikan.
Saat tangan ini akan ku angkat bersama
jari jemari yang siap untuk menari di atas komputer, seorang client
mendatangiku. Katanya ada seorang wanita yang ingin menemuiku. Aku segera untuk
menemuinya.
Terlihat seorang wanita yang tak asing
lagi di mataku, dengan pakaian sederhana yang membalut tubuhnya serta tentengan
yang dibawanya. Ya, dia ibuku. Ibu datang membawakan bekal untukku.
“Ibu?” sahutku seraya duduk di
sampingnya. Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, ibu sangat hangat
menunggu kedatanganku. “Shalu, ibu bawakan bekal untukmu.” Katanya sembari
memberikan bekal untukku.
“Ta ta tapi Shalu bisa beli sendiri, Bu.
Lagian apa ibu sudah makan?” ujarku. Ibu hanya tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. Aku tahu, ini adalah cara ibu untuk menyembunyikan apa yang sedang
ibu rasakan. Ibu pasti lelah, ibu pasti lapar.
“Eeee begini, Shal,” ucap ibuku. Aku
mengerutkan dahi, menunggu kelanjutan perkataan ibu. “Ibu datang kesini
kepengin jalan-jalan sama kamu. Apa kamu sedang tidak sibuk?” lanjutnya yang
seakan mengerti dengan kesibukanku.
Aku terdiam, memandangi wanita yang ada
di hadapanku. Sebuah permintaan yang sederhana bagiku, tapi cukup bagi ibu
untuk tersenyum, hanya dengan bersamaku. “Kalau Shalu sibuk, ngga papa. Ibu
tahu.” Tambahnya lagi.
“Ibu.” Ucapku seraya menggenggam tangan
ibu. Ibu memandangiku, lalu aku menganggukan kepala sebagai tanda ya. Perlahan,
senyum itu, senyum yang sangat aku rindukan mulai terpancar dari wajah
senjanya. Dan semoga dengan menuruti permintaan ibu, bisa menjadi tanda maaf
atas kesalahanku tadi pagi.
-oOo-
Melihat ibu tersenyum sudah cukup
membuatku bahagia. Karena aku tahu, bahagia itu sederhana, tidak perlu sesuatu
yang mewah untuk bisa merasa bahagia. Aku mengajak ibu untuk berjalan-jalan
disebuah mall, karena ibu sudah lama tidak keluar rumah. Apalagi ke mall.
Ibu terlihat begitu bahagia, tak
henti-hentinya, ibu melontarkan senyum bahagia padaku. Sungguh, aku merasa
sangat bahagia dengan ini. Serasa akulah yang paling beruntung di dunia ini.
Sesekali aku perhatikan, ibu begitu takjub dengan berbagai macam barang yang
terpajang di mall, bahkan hampir barang itu jatuh karena ibu kurang
berhati-hati.
Tapi syukurlah, aku tidak terlambat untuk
mencegahnya. Karena jika terjatuh dan pecah, bukan tidak mungkin aku untuk
menggantinya. Ditambah barang itu sangat mahal. Namun, rasa cemasku masih saja
bergelayut di dada, saat ibu lagi-lagi takjub dengan kerajinan keramik yang ada
di mall.
“Ibu, jangan sampai barang ini jatuh ya.
Karena kalau pecah, kita harus menggantinya.” Kataku lembut pada ibu. Ibu
mengerti, ibu mengangguk.
Dan baru saja ibu mengerti, Pyaangggg!!!
Mataku membulat, aku tersentak, tubuhku
serasa gemetar, kakiku seakan tertancap di bumi, sulit sekali untuk aku angkat.
Pandangan para pengunjung seketika langsung berpaling, memandangiku dan ibu.
“Ibu!” kataku tegas. “Kenapa ibu malah
menjatuhkan keramik itu? Bukankah Shalu sudah memperingati ibu, agar ibu lebih
berhati-hati?” timpalku.
Ibu menundukkan kepala, “ma ma maafkan,
Ibu. Ibu ngga sengaja.” Ucap ibu yang merasa bersalah.
“Ibu sungguh memalukan!” tegasku.
Sungguh, kali ini aku benar-benar tidak bisa mengontrol emosiku. Aku
benar-benar tidak peduli dengan perasaan ibu, walau aku tahu, ibu tidak sengaja
menjatuhkannya.
Perlahan, bulir bening menepi di mata
ibu. “Maafkan ibu telah memalukanmu. Ibu tidak akan mengajakmu untuk
jalan-jalan lagi.” Ketus ibu yang terdengar menyimpan kekecewaan di balik
kesabarannya. Kemudian, ibu segera pergi dari hadapanku.
Aku tidak mencegahnya. Aku tertegun atas
perkataanku sendiri. Mengatakan jika ibu telah memalukan diriku. Oh sungguh,
air mata yang sempat aku tahan pun mulai bercucuran. Aku hanya bisa memandangi
punggung ibu yang perlahan mulai menghilang dariku.
-oOo-
22 Desember,
Entah kenapa, hari ini aku merasa sesuatu
yang sulit sekali untuk dijabarkan. Seakan ada perasaan yang memintaku, entah
untuk apa. Aku mencoba untuk kembali fokus dengan pekerjaanku, dan saat aku
akan membuka dari dalam tasku, secarik kertas terjatuh. Aku segera
mengambilnya.
Ini surat dari ibu. Ibu meminta maaf
padaku, atas sikapnya yang telah membuatku malu. Dan entah kenapa, kristal
bening mulai mengalir dari mataku. Aku menyekanya, saat aku akan mearuh kembali
kertas itu di dalam tas, mataku melirik ke komputer yang ada di hadapanku. Ini
tanggal 22 Desember, hari ibu.
Seakan aku tersentak, pikirku melayang
pada ibu. Dan entah kenapa, aku segera pergi dari tempat kerjaku, dan segera
pulang ke rumah, untuk menemui ibu, menemui malaikat dalam hidupku.
“Ibuuu!!!” teraikku sembari membuka pintu
dan masuk ke dalam rumah. Tapi tidak ada siapa-siapa di rumah. Sepi. Aku
mencoba untuk masuk ke kamar, barangkali ibu ada di sana. Dan, nihil. Ibu tidak ada di kamar. Ketika aku akan kembali
mencari ibu, tanganku seakan meminta untukku membuka lemari ini.
Aku mencoba untuk membuka lemari ini,
kemudian aku ambil baju yang tersimpan rapi. Ya, ini adalah baju yang dibelikan
ibu di pasar. Aku melihatinya, terbesit ingatanku dulu, saat pertama kali aku
masuk sekolah. Aku selalu merasa bangga menceritakan baju seragam yang aku
kenakan, baju itu terlampau berharga, baju itu adalah buatan ibu. Dengan kasih
sayangnya, ibu membuatkan baju untukku. Hingga tak ku sadari, air mata telah
hadir membasahi pipiku.
Aku kembali mencari ibu. “Ibuuu!!!”
teriakku. Kemudian sebuah jawaban terdengar dari luar rumah, ya itu ibu. Ibu
baru selesai mencuci. Aku segera memeluknya, tak peduli dengan bau keringat
lelah darinya, aku hanya ingin merasakan pelukan itu. Pelukan hangat dari
seorang ibu.
Ibu membelai kepalaku lembut, penuh kasih
sayang. Oh ibu, betapa air mata ini selalu menetes dari mataku, ketika aku
mengingat semua keburukanku padamu. Tapi kasih sayangmu tak pernah berkurang
padaku, dan aku tahu. Disetiap nafasmu pasti terselip do’a untukku.
“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Isra 17:24)
Oh ibu, sungguh Allah menciptakanmu
sangat mulia. Terbuat dari apakah hatimu itu, Ibu? Kau adalah sang pemilik
rahim cinta yang takkan berkurang substansinya.
Mother is an angel in the from of man,
his love, love, all the time. Thanks, Mom. I always loved you all my life.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar