Rabu, 10 Februari 2016

Cerpen Ibu : "Mother Is An Angel All My Life"



Mother Is An Angel All My Life

Pagi itu, saat embun-embun tampak masih bergelayut, dan seakan enggan untuk tergelincir pada tangkai-tangkai pohon yang memintanya untuk terjatuh. Ditambah suara kicauan burung di atas ranting pohon, menyambut mentari pagi yang hendak terbit di ufuk timur.

Suara-suara gesekan bambu yang seolah memainkan lagu berteman dengan semilir angin yang mencoba untuk berhembus pelan.

Seberkas cahaya matahari telah memasuki kamarku, disana aku sedang berkaca diri, melihat pantulan diriku pagi ini. Aku mengenakan baju kerjaku, terlihat sederhana namun elegan. Setelah wajah terpoles make up yang tidak terlalu tebal, mata ini aku tambahkan eyeliner agar terlihat lebih segar. Dan tak lupa, bibir ini aku kecupkan lips gloss yang tidak terlalu pekat. Sempurna, natural.

“Shalu,” sahut ibuku sembari masuk ke dalam kamar. “Tadi ibu habis ke pasar, dan ibu suka sama baju ini. Jadi, ibu membelikannya untukmu.” Sambung ibu seraya menunjukkan baju yang baru dibelinya.

Aku melihatinya, sejenak aku berpikir. Baju itu sungguh sederhana, terlebih ibu membelinya di pasar. “Kamu suka kan?” ketus ibu dengan wajah berseri-serinya.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan baju yang dibelikan ibu, karena tidak sesuai dengan model kesukaanku. Tapi aku tak mungkin menolaknya, terlebih membuat wajah ibu yang berseri-seri ini menjadi cemberut. Oh tidak, aku tidak menyukai itu.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis pada ibu. “Alhamdulilah. Kalau begitu kamu coba ya?” ujar ibuku.

“Eeee kapan-kapan aja ya, Bu? Lagian Shalu sudah pakai baju, dan Shalu harus segera berangkat sebelum terlambat.” Kataku yang sebenarnya sedang menolak ibu dengan pelan.

Ibu mengangguk dan kembali melipat baju itu. Ditaruhnya baju itu di dalam lemariku. “Ya sudah tidak apa-apa.”

Aku mengangguk. “Bu, Shalu berangkat dulu ya? Assalamu’alaikum.” Kataku dengan mencium punggung tangan ibu.

“Wa’alaikum salam.” Balasnya dengan penuh senyuman.

-oOo-

Hari berganti minggu, dan minggu melanjutkan ke peraduan bulan. Malam telah tertidur, bersama sang rembulan dan para bintang. Meminta sang fajar untuk kembali menyingsing. Menyambut hari yang terus berputar.

“Shalu, kenapa baju yang ibu belikan tidak kamu pakai, Nak?” sahut ibu yang masuk ke dalam kamarku.

“Iya, Bu. Nanti Shalu juga akan memakainya.” Kataku yang tak sedikitpun untuk melihat ke arah ibu.

“Tapi ibu ingin lihat kamu pakai baju itu.” Ujar ibuku.

Aku mengangguk. “Iya, Ibu. Sekarang Shalu harus berangkat dulu.” Kataku pelan. Tapi ibuku terus memaksa agar aku memakai baju yang dibelikannya, hingga akhirnya “Ibu!!” teriakku. Seketika, ibuku terdiam, memandangi baju yang kulempar.

Ibu hanya terdiam, dan aku bisa melihat, melihat air mata yang akan mengucur dari matanya. Tapi entahlah, aku malah berlalu pergi meninggalkan ibu begitu saja.

-oOo-

Aku hanya bisa terdiam di depan meja kerjaku. Teringat akan kejadian tadi yang barusan aku lakukan pada ibu. Sungguh, hati ini sangat menyesal ibu. Membiarkan air matanya yang begitu berharga terjatuh, ini semua salahku, ibu. Maafkan aku.

Namun, pikiran itu aku coba hilangkan sejenak. Tidak mungkin bagiku untuk terus-terusan memikirkannya, toh banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.

Saat tangan ini akan ku angkat bersama jari jemari yang siap untuk menari di atas komputer, seorang client mendatangiku. Katanya ada seorang wanita yang ingin menemuiku. Aku segera untuk menemuinya.

Terlihat seorang wanita yang tak asing lagi di mataku, dengan pakaian sederhana yang membalut tubuhnya serta tentengan yang dibawanya. Ya, dia ibuku. Ibu datang membawakan bekal untukku.

“Ibu?” sahutku seraya duduk di sampingnya. Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, ibu sangat hangat menunggu kedatanganku. “Shalu, ibu bawakan bekal untukmu.” Katanya sembari memberikan bekal untukku.

“Ta ta tapi Shalu bisa beli sendiri, Bu. Lagian apa ibu sudah makan?” ujarku. Ibu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Aku tahu, ini adalah cara ibu untuk menyembunyikan apa yang sedang ibu rasakan. Ibu pasti lelah, ibu pasti lapar.

“Eeee begini, Shal,” ucap ibuku. Aku mengerutkan dahi, menunggu kelanjutan perkataan ibu. “Ibu datang kesini kepengin jalan-jalan sama kamu. Apa kamu sedang tidak sibuk?” lanjutnya yang seakan mengerti dengan kesibukanku.

Aku terdiam, memandangi wanita yang ada di hadapanku. Sebuah permintaan yang sederhana bagiku, tapi cukup bagi ibu untuk tersenyum, hanya dengan bersamaku. “Kalau Shalu sibuk, ngga papa. Ibu tahu.” Tambahnya lagi.

“Ibu.” Ucapku seraya menggenggam tangan ibu. Ibu memandangiku, lalu aku menganggukan kepala sebagai tanda ya. Perlahan, senyum itu, senyum yang sangat aku rindukan mulai terpancar dari wajah senjanya. Dan semoga dengan menuruti permintaan ibu, bisa menjadi tanda maaf atas kesalahanku tadi pagi.

-oOo-

Melihat ibu tersenyum sudah cukup membuatku bahagia. Karena aku tahu, bahagia itu sederhana, tidak perlu sesuatu yang mewah untuk bisa merasa bahagia. Aku mengajak ibu untuk berjalan-jalan disebuah mall, karena ibu sudah lama tidak keluar rumah. Apalagi ke mall.

Ibu terlihat begitu bahagia, tak henti-hentinya, ibu melontarkan senyum bahagia padaku. Sungguh, aku merasa sangat bahagia dengan ini. Serasa akulah yang paling beruntung di dunia ini. Sesekali aku perhatikan, ibu begitu takjub dengan berbagai macam barang yang terpajang di mall, bahkan hampir barang itu jatuh karena ibu kurang berhati-hati.

Tapi syukurlah, aku tidak terlambat untuk mencegahnya. Karena jika terjatuh dan pecah, bukan tidak mungkin aku untuk menggantinya. Ditambah barang itu sangat mahal. Namun, rasa cemasku masih saja bergelayut di dada, saat ibu lagi-lagi takjub dengan kerajinan keramik yang ada di mall.

“Ibu, jangan sampai barang ini jatuh ya. Karena kalau pecah, kita harus menggantinya.” Kataku lembut pada ibu. Ibu mengerti, ibu mengangguk.

Dan baru saja ibu mengerti, Pyaangggg!!!

Mataku membulat, aku tersentak, tubuhku serasa gemetar, kakiku seakan tertancap di bumi, sulit sekali untuk aku angkat. Pandangan para pengunjung seketika langsung berpaling, memandangiku dan ibu.

“Ibu!” kataku tegas. “Kenapa ibu malah menjatuhkan keramik itu? Bukankah Shalu sudah memperingati ibu, agar ibu lebih berhati-hati?” timpalku.

Ibu menundukkan kepala, “ma ma maafkan, Ibu. Ibu ngga sengaja.” Ucap ibu yang merasa bersalah.

“Ibu sungguh memalukan!” tegasku. Sungguh, kali ini aku benar-benar tidak bisa mengontrol emosiku. Aku benar-benar tidak peduli dengan perasaan ibu, walau aku tahu, ibu tidak sengaja menjatuhkannya.

Perlahan, bulir bening menepi di mata ibu. “Maafkan ibu telah memalukanmu. Ibu tidak akan mengajakmu untuk jalan-jalan lagi.” Ketus ibu yang terdengar menyimpan kekecewaan di balik kesabarannya. Kemudian, ibu segera pergi dari hadapanku.

Aku tidak mencegahnya. Aku tertegun atas perkataanku sendiri. Mengatakan jika ibu telah memalukan diriku. Oh sungguh, air mata yang sempat aku tahan pun mulai bercucuran. Aku hanya bisa memandangi punggung ibu yang perlahan mulai menghilang dariku.

-oOo-
22 Desember,

Entah kenapa, hari ini aku merasa sesuatu yang sulit sekali untuk dijabarkan. Seakan ada perasaan yang memintaku, entah untuk apa. Aku mencoba untuk kembali fokus dengan pekerjaanku, dan saat aku akan membuka dari dalam tasku, secarik kertas terjatuh. Aku segera mengambilnya.

Ini surat dari ibu. Ibu meminta maaf padaku, atas sikapnya yang telah membuatku malu. Dan entah kenapa, kristal bening mulai mengalir dari mataku. Aku menyekanya, saat aku akan mearuh kembali kertas itu di dalam tas, mataku melirik ke komputer yang ada di hadapanku. Ini tanggal 22 Desember, hari ibu.

Seakan aku tersentak, pikirku melayang pada ibu. Dan entah kenapa, aku segera pergi dari tempat kerjaku, dan segera pulang ke rumah, untuk menemui ibu, menemui malaikat dalam hidupku.

“Ibuuu!!!” teraikku sembari membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Tapi tidak ada siapa-siapa di rumah. Sepi. Aku mencoba untuk masuk ke kamar, barangkali ibu ada di sana. Dan, nihil. Ibu  tidak ada di kamar. Ketika aku akan kembali mencari ibu, tanganku seakan meminta untukku membuka lemari ini.

Aku mencoba untuk membuka lemari ini, kemudian aku ambil baju yang tersimpan rapi. Ya, ini adalah baju yang dibelikan ibu di pasar. Aku melihatinya, terbesit ingatanku dulu, saat pertama kali aku masuk sekolah. Aku selalu merasa bangga menceritakan baju seragam yang aku kenakan, baju itu terlampau berharga, baju itu adalah buatan ibu. Dengan kasih sayangnya, ibu membuatkan baju untukku. Hingga tak ku sadari, air mata telah hadir membasahi pipiku.

Aku kembali mencari ibu. “Ibuuu!!!” teriakku. Kemudian sebuah jawaban terdengar dari luar rumah, ya itu ibu. Ibu baru selesai mencuci. Aku segera memeluknya, tak peduli dengan bau keringat lelah darinya, aku hanya ingin merasakan pelukan itu. Pelukan hangat dari seorang ibu.

Ibu membelai kepalaku lembut, penuh kasih sayang. Oh ibu, betapa air mata ini selalu menetes dari mataku, ketika aku mengingat semua keburukanku padamu. Tapi kasih sayangmu tak pernah berkurang padaku, dan aku tahu. Disetiap nafasmu pasti terselip do’a untukku.

“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Isra 17:24)

Oh ibu, sungguh Allah menciptakanmu sangat mulia. Terbuat dari apakah hatimu itu, Ibu? Kau adalah sang pemilik rahim cinta yang takkan berkurang substansinya.

Mother is an angel in the from of man, his love, love, all the time. Thanks, Mom. I always loved you all my life.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar