Rabu, 10 Februari 2016

Cerpen Nasionalisme : Sampai Titik Darah Penghabisan!


Sumpah Pemuda

Satu. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia
Dua. Kami putra dan putri Indonesia,

Duuaarrrrr!!

Seketika semua langsung berlari tunggang langgang, setelah pasukan Belanda kembali menjatuhkan bomnya. Akibatnya, banyak dari siswa yang sedang mengikuti pelajaran tewas akibat terkena reruntuhan bangunan. Sedangkan mereka yang selamat, masih terus berlari dan berlari sampai masuk ke dalam hutan.

"Sampai kapan kita akan berlari terus?" kata Amir disela peluhnya yang mengucur.

"Kita harus berlari sejauh mungkin, agar tidak tertangkap oleh pasukan Belanda," ujar Soleh.

"Tidak!" seru Lukman lantang dengan tatapan memerah. Seketika langkah mereka berhenti.

"Apa maksudmu tidak? Apa kau ingin tertangkap oleh Belanda dan akhirnya kita mati?" bentak Soleh dengan menatap Lukman dalam.

"Lalu, apakah kau takut dengan Belanda? Kita bukannya harus lari seperti ini! Tapi kita harus maju dan melawan mereka! Paham!" suara Lukman terdengar tegas. Terlihat, mereka seolah siap untuk berduel. Tatapan mereka sangar, bagai dua ekor singa yang siap bertarung.

"Hentikan!" seru Maria melerai pertengkaran yang akan terjadi. Lukman dan Soleh saling membuang muka. Benci.

"Kita tidak seharusnya berkelahi seperti ini. Lebih baik kita pikirkan, bagaimana kita bisa mengusir mereka dari negara kita tercinta ini!" kata Maria penuh semangat.

"Benar apa kata Maria," Amir menambahkan. "Lebih baik kita pikirkan bagaimana cara kita untuk mengusir mereka. Karena tidak mungkin, kita akan terus menerus dijajah mereka,"

"Ya!" Lukman mengangguk. Menatap kedepan dengan mantap. Mengepal tangannya penuh harapan. "Aku sangat benci dengan mereka! Aku menginginkan para manusia bedebah itu mati! Ciihhh!" sambung Lukman dengan rasa benci yang teramat dalam pada pasukan Belanda.

Dengan gejolak semangat yang membara. Sebagai darah garuda, mereka tak rela jika ibu pertiwi terus diperbudakan oleh pasukan Belanda. Telah banyak korban berjatuhan akibat tindak kekerasaan dan paksaan yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Bahkan kejadian tadi, saat mereka sedang menuntut ilmu di sekolah. Tiba-tiba saja mereka menghantamkan bom ke bangunan sekolah. Seketika itu pula gejolak rasa benci mulai mendarah daging.

Amir, Lukman, Soleh, dan Maria terus berjalan menyusuri pepohonan yang lebat. Sesekali mereka mendengar dentuman senjata yang sangat memekakan telinga. Dan tak jarang, rasa was-was menyelimuti mereka, jikalau ada pasukan Belanda yang tiba-tiba melintas di hutan. Mereka terus berjalan, sampai akhirnya mereka sampai disuatu tempat. Terlihat, banyak orang yang seperti prajurit sedang latihan.

"Berhenti!" salah seorang penjaga memberhentikan keempat sekawan ini. "Siapa kalian?" timpalnya.

"Apa jangan-jangan kalian adalah mata-mata dari Belanda?" ujar orang itu lagi dengan tatapan dalam.

"Kami bukan mata-mata Belanda. Kami orang peribumi. Kami ingin menjadi pasukan perang," ketus Lukman tegas.

Orang itu tak percaya. Diperhatikanlah mereka sekali lagi. "Dan kau perempuan. Kau juga ingin menjadi pasukan perang?" kini orang itu mulai bertanya pada Maria.

"Iya. Aku ingin mengusir mereka. Aku tidak ingin rakyat Indonesia terus menderita oleh mereka!" tegas Maria dengan mantap.

"Semangat yang bagus. Tapi anak perempuan tidak bisa menjadi pasukan perang,"

"Kenapa? Bukankah laki-laki dan perempuan sama saja?"

"Tidak! Perempuan hanya bertugas sebagai penangan medis atau juru masak saja,"

Saat Maria akan menjawabnya, Lukman mencegah. Setelah itu, mereka semua mulai menjadi anggota pasukan perang.
Jam berganti hari. Dan hari melanjutkan ke peraduan bulan. Mereka sedang menyiapkan siasat perang bersama anggota senior lainnya. Dentuman senjata sesekali terdengar dari arah sana. Ditambah hujatan bom berkali-kali. Darah dan air mata telah membanjir. Meresap ke tanah ibu pertiwi.

Telah banyak diantara mereka yang mati tertembak. Dan juga pasukan Belanda tentunya. Namun empat sekawan itu masih sanggup untuk meneruskan perang. Berkat adanya senjata yang mereka rampas semakin yakin bahwa mereka bisa membabat pasukan Belanda.

Dorrrr! Duaarrrr! Masih terdengar jelas bagaimana ganasnya serangan dari pasukan Belanda itu.

Maria yang bertugas sebagai juru masak merasa geram atas perlakukan pasukan Belanda. Sembunyi-sembunyi ia mencoba mencari celah untuk segera pergi dari sini dan ikut perang melawan pasukan Belanda itu. Tak peduli, biarpun ia wanita tapi juga berhak ikut serta dalam membela negara.

Sedangkan mereka yang sedang berperang, nampak bersembunyi disebuah batu besar. Ini mereka lakukan bukan karena takut, melainkan mereka kalah jumlah dengan pasukan Belanda yang menghujat mereka dengan serangan bertubi-tubi.

"Kenapa kita malah bersembunyi?" ujar Soleh dengan nafas yang tersisa.

"Kita tidak sanggup melawan mereka. Jumlah kita tidak sebanding dengan mereka," tutur Amir.

"Ah payah kau! Biar aku saja yang melawan mereka! Sampai titik darah penghabisan!" seru Soleh dengan tatapan sangarnya.

Saat Soleh akan keluar dari persembunyian, Lukman mencegahnya. "Tidak! Kau jangan terlalu gegabah. Yang harus kita lakukan adalah mencari markas besar mereka lalu kita bom,"

"Ah! Minggir!" Soleh tidak peduli dengan Lukman.

Dengan gejolak semangat yang mengalir, Soleh keluar dari persembunyiannya. Doorrrrrr!! Dooorrrr!! Soleh tewas. Tertembak. Darah segar mengalir disekujur tubuhnya. Amir dan Lukman menangis, tak kuasa melihat sahabatnya mati.

"Amir! Lukman!" mereka menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya Maria dengan sesekali terjaga tampak berada di dalam mobil.

Amir dan Lukman segera berlari ke arah Maria. "Kenapa kau kemari?" ujar Lukman.

"Aku ingin ikut perang. Aku ingin membalas dendam pada mereka!"

"Tapi kau ..." belum sempat Amir berkata, Doorrrrr!! Pasukan Belanda mengetahui keberadaan mereka. Segera mereka naik ke atas mobil dan melesat pergi.

"Aku tahu markas mereka," kata Maria.

"Benarkah?" Maria mengangguk.

"Bagus. Bawa kami ke markas mereka,"

Setibanya disana. Terlihat hanya beberapa saja yang berjaga. Saat itulah mereka menyusup masuk. Lukman bertugas untuk mengaktifkan bom di dalam markas. Sementara Maria dan Amir berjaga, dan melawan pasukan yang ada. Dooorr! Peluru pasukan itu mengenai tangan Amir, ia sempat ambruk, namun dengan semangat yang membara, ia mencoba untuk bangkit dan melawan mereka. Sampai titik darah penghabisan.

"Dimana Amir?"

"Tidak tahu. Tadi dia tertembak,"

Amir sedang menaiki gedung yang terdapat bendera Belanda berkibar. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Amir merobek warna biru dari bendera itu dan membiarkan warna merah putih terus berkibar di angkasa. Segera Amir berlari menemui Lukman dan Maria, sebelum bom itu meledak.

"Ayo kita pergi!"

Dengan cepat, mereka pergi. Walau mereka masih mendapat serangan dari sisa pasukan Belanda. Tak lama, Duuaarrrr!! Terdengar bom itu telah meledak. Pasukan Belanda akhirnya banyak yang mati, walau kaptennya belum berhasil mereka lumpuhkan. Setidaknya, tiga lawan satu tentu akan menang tiga. Mereka bersorak senang sekaligus haru, air mata mengalir diantara perihnya darah.

Begitu berat perjuangan mereka untuk mempertahankan tanah air Indonesia. Bahkan sampai titik darah penghabisan. Sudah sewajarnya kita bersyukur, karena kita tidak ikut ambil alih dalam ganasnya perang itu. Yang sekarang perlu kita jaga adalah rasa nasionalisme yang kuat. Dan jangan biarkan orang dari negara lain menjajah negara kita kembali. Merdeka!!
























About Me :

Anna Jihan Oktiana, sering disapa akrab dengan panggilan Ajo oleh teman SMP-nya. Lahir di Banyumas, 8 Oktober 1999. Bersekolah di SMKN 1 Purwokerto. Saran dan kritik karyanya follow twitter @aNjioLova_jihaN dan add facebook Anna Jihan Oktiana atau via email annajihanoktiana.ajo9g@gmail.com. Salam pena Ajo_dhuwee^^
Top of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar