Rabu, 10 Februari 2016

Cerpen Motivasi : "Manusia Berhati Malaikat"



Manusia Berhati Malaikat

Sumbrat cahaya perlahan mulai terlihat. Mengganti kegelapan yang sempat menyelimuti pandangannya. Beberapakali Hauna memerjipkan mata, sampai mata itu terbuka sempurna. Dilihatnya, Ibu, Ayah, dan orang yang pernah Hauna tolong tampak berdiri mengelilingi ranjangnya. Mereka tampak mencoba menyembunyikan air mata yang pada akhirnya tak sanggup untuk menahannya. Hauna menoleh ke arah Ibunya. Air mata tampak menitih dari wajahnya. Hingga akhirnya sang Ibu lebih memilih memalingkan muka. Namun saat Ibu akan pergi, Hauna langsung memegang tangan Ibunya. Saat itulah air mata tak lagi bisa dibendung. Ibunya tidak bisa membayangkan lagi, jika ini adalah terakhir kali baginya bisa berjumpa dengan putri kesayangannya.

"Ibu ..." kata Hauna dengan lemah. Ibu berbalik badan dan langsung memeluk Hauna. Menangis terisak dalam pelukan. Mencium Hauna berkali-kali.

Hauna menggelengkan kepala seraya menghapus air mata yang menetes pada Ibu. Menyuruhnya agar tidak menangis lagi. Ibu berusaha tersenyum, tapi tidak bisa. Lalu jatuh kembali dalam pelukan. Saat pelukan itulah, Hauna merasa kenyamanan yang abadi. Tak ia rasakan lagi, sakit yang telah lama bersemayam di tubuhnya. Hauna telah pergi. Manusia berhati malaikat itu telah terbang. Kembali. Kembali pada pelukan-Nya. Semua menangis, saat Hauna berpulang.


"Jika dengan sakit aku bisa berbagi, maka berikan rasa sakit itu padaku. Biarkan aku merasa, tapi tidak untuk temanku. Setidaknya sakitku ini bermanfaat bagi mereka, bukan membebani mereka,"

***

Awal dokter mendiagnosa bahwa Hauna mengidap kanker otak stadium akhir, dunia ini serasa runtuh. Dan menjadi orang paling menderita di dunia. Ayah dan Ibu Hauna juga tak kalah sakitnya mendengar penuturan sang dokter. Tapi memang inilah kenyatannya. Tak perlu waktu lama bagi Hauna untuk mengenal sakitnya, mengakrabi kankernya. Seiring dengan berjalannya waktu, Hauna mulai merasa nyaman dengan kondisinya. Walaupun rambutnya telah habis akibat dari kemoterapi, tapi Hauna tidak pernah sedikitpun mengeluh. Malahan, sebuah senyuman tak pernah menghilang dari wajahnya.

"Ibu, kenapa Allah memberi Hauna rasa sakit?" Ibu terdiam. Bahkan berhenti mendorong kursi roda yang Hauna duduki. "Hauna. Allah tidak memberi Hauna sakit, Allah sangat menyayangi Hauna, mungkin ini adalah cara Allah untuk menyayangi Hauna,"

"Ibukan sering memeluk Hauna. Dan kata Ibu, kalau Ibu memeluk Hauna berarti Ibu sayang sama Hauna. Kalau gitu, jika Allah memeluk Hauna maka Allah sayang ya, Bu?"

Ibu terdiam. Hanya air mata yang terlihat mulai menetes. Ibu tidak bisa membayangkan jika nantinya Hauna harus pergi dan meninggalkan dirinya. Jika perpisahan itu akan menghadirinya, apa yang bisa diperbuatnya? Saat Hauna akan memakan roti itu, seorang anak yang tampak bisa dikatakan dekil mendekatinya. Anak itu meminta sedekah pada Hauna, tanpa pikir panjang, Hauna langsung memberikannya.

"Hauna, kenapa rotinya dikasihkan pada anak itu?"

"Ibu. Anak itu jauh lebih berhak dari Hauna. Hauna bisa membelinya lagi, tapi tidak dengan anak itu. Lagipula, Hauna juga masih kenyang kok," sebuah jawaban sederhana yang Hauna lontarkan. Ibu memeluk Hauna. Meneteskan air matanya kembali. Mencium berkali-kali pipi dan kening Hauna.

Ya Allah, Ya Rabb. Jika Kau ingin mengambil Hauna dariku, sekiranya izinkan aku untuk bisa terus merawatnya. Melihat senyumnya. Sampai kau memanggilnya. Dan jika dengan mengambilnya dariku adalah yang terbaik untuknya, maka lakukanlah ya Rabb. InsyaAllah aku siap. Aku ikhlas.

***

"Nak, maafkan Ibu. Ibu tidak bisa membelikan obat untukmu,"
"Tidak apa, Ibu. Fitri tahu,"

Sayup-sayup Hauna mendengar percakapan antara anak yang menyebut dirinya adalah Fitri. Ia merasa kasihan akan kondisinya. Ibunya menginginkan agar Fitri sembuh. Tapi keterbatasan biaya membuatnya pasrah akan penyakitnya. Hauna menjalankan kursi rodanya dan mendekati Fitri dan Ibunya. "Mm permisi,"

Sontan, Fitri dan Ibunya menoleh ke arah Hauna. "Iya. Ada apa?" kata Fitri. "Mmm maaf, tadi aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Ibumu. Kalau boleh tahu, kamu sakit apa?" Hauna mulai bertanya.

"Aku sakit asma. Dokter menyuruh Ibu untuk membeli obat. Tapi, Ibu tidak sanggup membelinya," terlihat Fitri menundukkan kepala. Mungkin dia merasa sedih. Hauna lebih dekat dengan Fitri. Ia memegang tangan Fitri. "Sekiranya aku bisa membantumu,"

Mendengar hal itu, Fitri langsung mengangkat kepala dan memandang Hauna. "Kamu tunggu disini. Aku akan segera kembali," lalu Hauna pergi. Hauna bermaksud untuk menemui orangtuanya, dan meminta tolong pada mereka. "Ayah, Ibu. Apakah uang yang untuk berobat Hauna masih?"

"Kenapa kau menanyakan hal itu, Hauna?" Ibu malah berbalik tanya. "Hauna ingin membantu teman Hauna yang terkena asma Ibu. Tolong berikan uang itu pada anak itu," tutur Hauna dengan tulus.

"Tapi uang ini untuk biaya pengobatanmu, Nak," Ayah menambahkan. "Ayah," Hauna memegang tangan Ayahnya. "Anak itu jauh lebih membutuhkan daripada Hauna. Apakah Ayah melihat Hauna merasa sakit?"

Sejenak, Ayah memperhatikan Hauna. Memperhatikan seorang gadis yang pucat tanpa rambut di kepalanya. "Ayah. Hauna tidak sakit. Jadi tolong bantu anak itu," Ayah terdiam. "Ibuuuu," sahut Hauna yang beralih pada Ibunya. Setelah diam beberapa saat untuk memikirkan hal itu, akhirnya Ayah dan Ibu Hauna mengiyakan permintaannya. Hauna sangat senang bisa membantu anak itu. Walau ia tahu, ia sendiri sangat membutuhkan uang itu untuk biaya pengobatannya.

"Sayang, setelah ini apa? Ayah dan Ibu tidak punya uang lagi untuk biaya pengobatanmu," kata Ibu dengan suara sedikit kecewa. "Biarlah Hauna pulang saja Ibu. Hauna ini baik-baik saja. Hauna tidak sakit. Tidak masalah jika Hauna tidak mendapat pengobatan. Toh Allah sendiri yang akan mengobati Hauna," tuturnya.

Mendengar hal itu, Ibu langsung menarik Hauna dalam pelukannya. Ia tidak tahu jalan pikir Hauna. Hauna yang lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Selebihnya, Hauna benar-benar tidak pernah mendapatkan perawatan lagi. Hanya jika ada uang saja orangtua Hauna bisa membeli obat, sekedar untuk menghilangkan rasa sakit pada Hauna. Walau mereka tahu, sedikitpun Hauna tidak pernah mengeluh.

"Ibuuu," Hauna menoleh ke arah Ibunya. "Ibu jangan sedih," Hauna menyeka air mata yang terlukis di wajah Ibunya. "Hauna ngga akan pergi kok, Hauna hanya akan merasa senang jika dipeluk sama Allah. Selamanya Hauna akan disini, Ibu," timpal Hauna dengan menunjuk ke arah hati Ibunya.

"Dihati Ibu," Hauna tersenyum. Ibu tak kuasa menahan air matanya. Dia memeluk Hauna erat, seolah tidak ingin melepaskan Hauna. Membiarkan air mata yang terus saja mengalir. 
Itulah pelukan terakhir yang Hauna rasakan. Sebelum dirinya tidak sadarkan diri dan akhirnya pergi.

Selebihnya, hanya kebaikan Hauna yang akan menjadi kenangan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar