Izinkan
Aku Untuk Mencium Surga Kecilku, Ibu.
Seorang ibu adalah sosok perempuan sejati yang menyayangi
dengan kasih sayang. Perempuan hebat yang ada di muka bumi ini.
Ibu adalah seorang wanita tangguh yang hadir
dalam hidup. Bak seorang bidadari berhati malaikat.
Dimana kasih sayang yang ia berikan tidak pernah habis ataupun
menghilang. Kasih sayang sepanjang masa. Dan tak harap kembali. Kita tak pernah
tahu, bahwa ibu juga pernah menangis. Tapi ibu selalu tersenyum dan
menyembunyikan itu dari kita. Sering kali kita menyakitinya. Maafkan aku, Ibu.
Kristal bening mengucur deras dari langit. Awan gelap mulai
mendominasi. Hujan datang. Mengguyur semua yang ada di bumi. Beberapa kali
terdengar bunyi guntur disela-sela rintikan air hujan. Semilir angin berhembus
kencang. Tidak menunjukkan persahabatannya.
Tubuhku terasa dingin. Angin masih saja menyelimuti. Tanganku berubah menjadi kriput. Aku duduk sendiri di depan kantor tempat aku bekerja. Sembari menunggu hujan segera reda.
Beberapa kali aku tengok jam yang melingkar di tanganku. Hari semakin larut. Dan hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera reda.
Tubuhku terasa dingin. Angin masih saja menyelimuti. Tanganku berubah menjadi kriput. Aku duduk sendiri di depan kantor tempat aku bekerja. Sembari menunggu hujan segera reda.
Beberapa kali aku tengok jam yang melingkar di tanganku. Hari semakin larut. Dan hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera reda.
Terlihat dari jauh sosok perempuan yang tak lagi muda. Aku
seperti mengenali perawakan perempuan itu. Dia berjalan mendekat dan semakin
jelas. Dia ibuku. Yang datang untukku walau rela basah kuyup demi diriku.
"Shalu, ayo pulang, Nak." Ujar ibuku seraya
memegang payung untuk sekedar melindungi tubuh rentanya dari guyuran hujan. Aku
berdiri.
"Kenapa Ibu kemari?" kataku sedikit
membentak.
"Ibu hanya mau mengantarkan payung untukmu. Di luar sana hujan." Ucap ibuku dengan lembut.
"Aku juga tahu lagi hujan. Sini payungnya."
Dengan kasar, aku merebut payung dari tangan ibu.
Aku tinggalkan ibu seorang diri. Sementara
diriku terus berjalan di bawah guyuran air hujan. Aku tidak peduli dengan ibu.
Benar-benar tidak peduli. Padahal ibu rela datang untukku, walaupun harus
menerpa dinginnya angin dan derasnya hujan. Entahlah. Hatiku benar-benar tidak
ada rasa iba padanya.
Matahari telah tertidur. Malam ini tak ada cahaya bintang
ataupun bulan yang terlihat. Hanya awan gelap pekat yang menghiasi langit. Dan
hujan masih saja turun. Belum ada kemauan untuk segera berhenti.
Ceklekkk!!
Aku
menoleh ke arah suara pintu terbuka. Setelah pintu terbuka dengan sempurna, ibu
masuk ke dalam kamarku. Aku kembali mengabaikannya. "Shalu. Diminum tehnya." Kata ibu sembari meletakkan teh di atas
meja kamarku. Segera aku mengambil teh itu dan meminumnya. Karena aku tidak
tahan lagi akan dingin yang menusuk hingga tulang-tulangku ini.
"Mmm, Shal?" Ibu tidak langsung melanjutkan
perkataannya. Aku acuh. Tak sekilaspun aku melirik kearah ibu.
"Besok ajak ibu jalan-jalan ya?" sambung ibuku. Aku langsung melihat kearah ibu. Dilihat, ibu tersenyum senang padaku. "Ngga. Shalu kerja!" ketusku.
"Sepulang Shalu bekerja juga tidak apa-apa." Ibu merujuk.
"Ngga! Shalu sibuk, Bu!" Aku pertegas suaraku.
"Tapi ibu kesepian, sendirian di rumah. Ibu pengin punya teman cerita. Luangkan waktumu untuk ibu ya, Nak?" Ibu bermaksud untuk memegang bahuku. Dengan kasar aku menampiknya.
"Ibu kan bisa cerita sama tetangga. Keluar kek atau
gimana. Shalu ngga bisa, Bu!" Aku beranjak dari duduk dan merebahkan diri
di ranjang. Lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Ibuku terdiam. Aku
tetap tidak memperdulikannya.
“Ya
udah kalau begitu. Mungkin kamu memang sibuk, ngga papa jika kamu ngga mau ajak
ibu jalan-jalan. Cukup lihat kamu aja ibu udah seneng. Ibu sayang kamu, Nak.”
Samar-samar aku mendengar ucapan ibu dan merasakan ada sentuhan hangat yang
membelai pipiku. Selebihnya aku tertidur.
-oOo-
Matahari telah memancarkan cahayanya. Pagi telah menyapa.
"Shalu. Nanti ajak Ibu jalan-jalan ya."
"Shalu ngga bisa Bu!" kataku yang masih sibuk bercermin.
"Sepulang Shalu pulang. Bisakan?" Aku berbalik melihat kearah Ibu. Lagi-lagi senyuman itu.
"Ngga! Shalu capek!" Aku ambil tas yang biasa aku bawa
"Shalu Shalu! Ibu mohon luangkan waktumu sebentar saja." Ibu terus saja membujukku.
"Ibu. Shalu mau kerja!"
"Ibu tahu. Tapi tolong pedulikan Ibu nak." Ibu memegang tanganku. Dengan kasar aku melepas tangan Ibu.
"Ngga!" tegasku. Lalu aku segera pergi.
Ibu hanya mengelus dadanya sembari beristighfar. "Wa'alaikum salam. Shalu-Shalu."
Hari berganti minggu. Ibu masih saja mengatakan hal itu. Membuatku bosan dengan semua ini. Entah hal apa yang membuatku tidak peduli pada Ibu.
Matahari sudah berpindah tempat. Tepat diatas ubun-ubun kepala. Jam menunjukkan pukul 12.00. Semuanya segera pergi hanya sekedar makan siang atau Shalat Dhuhur.
Saat aku akan keluar bersama teman untuk makan siang, terlihat seorang yang tak asing lagi bagiku. Berdiri didepan kantor sembari menenteng wadah.
Ibu? Kataku dalam hati. Ya sosok itu adalah Ibuku. Ibu datang untuk mengantarkan makan siang padaku. Namun aku tidak menemuinya. Aku lebih memilih untuk segera masuk kedalam mobil dan makan siang bersama dengan temanku.
Pandanganku tidak lepas untuk melihati Ibu. Dari balik kaca jendela mobil. Dengan sabar, Ibu masih setia berdiri. Hanya berharap aku segera menemuinya.
Menit berganti ke peraduan jam. Selesai makan siang, aku mendapati Ibu yang masih berdiri didepan kantorku. Aku tak menemuinya. Segera masuk kedalam kantor tanpa sepengetahuan Ibu.
"Shalu. Nanti ajak Ibu jalan-jalan ya."
"Shalu ngga bisa Bu!" kataku yang masih sibuk bercermin.
"Sepulang Shalu pulang. Bisakan?" Aku berbalik melihat kearah Ibu. Lagi-lagi senyuman itu.
"Ngga! Shalu capek!" Aku ambil tas yang biasa aku bawa
"Shalu Shalu! Ibu mohon luangkan waktumu sebentar saja." Ibu terus saja membujukku.
"Ibu. Shalu mau kerja!"
"Ibu tahu. Tapi tolong pedulikan Ibu nak." Ibu memegang tanganku. Dengan kasar aku melepas tangan Ibu.
"Ngga!" tegasku. Lalu aku segera pergi.
Ibu hanya mengelus dadanya sembari beristighfar. "Wa'alaikum salam. Shalu-Shalu."
Hari berganti minggu. Ibu masih saja mengatakan hal itu. Membuatku bosan dengan semua ini. Entah hal apa yang membuatku tidak peduli pada Ibu.
Matahari sudah berpindah tempat. Tepat diatas ubun-ubun kepala. Jam menunjukkan pukul 12.00. Semuanya segera pergi hanya sekedar makan siang atau Shalat Dhuhur.
Saat aku akan keluar bersama teman untuk makan siang, terlihat seorang yang tak asing lagi bagiku. Berdiri didepan kantor sembari menenteng wadah.
Ibu? Kataku dalam hati. Ya sosok itu adalah Ibuku. Ibu datang untuk mengantarkan makan siang padaku. Namun aku tidak menemuinya. Aku lebih memilih untuk segera masuk kedalam mobil dan makan siang bersama dengan temanku.
Pandanganku tidak lepas untuk melihati Ibu. Dari balik kaca jendela mobil. Dengan sabar, Ibu masih setia berdiri. Hanya berharap aku segera menemuinya.
Menit berganti ke peraduan jam. Selesai makan siang, aku mendapati Ibu yang masih berdiri didepan kantorku. Aku tak menemuinya. Segera masuk kedalam kantor tanpa sepengetahuan Ibu.
Seolah-olah tidak ada rasa letih yang Ibu rasa. Padahal aku
tak kunjung menemuinya. Tapi Ibu masih saja menungguku untuk hadir didepannya.
Aku melihatnya dari balik jendela ruang kerja.
Aku tahu. Aku tahu itu. Ini bukanlah tindakan yang baik. Tapi sungguh. Aku tidak tahu kenapa ini terjadi. Seolah-olah hatiku itu batu!
Sampai aku pulang kerjapun Ibu masih setia menungguku.
"Shalu Shalu!" panggilnya begitu melihatku. Aku memandanginya seperti tak suka.
"Ibu bawakan bekal untuk Shalu." Seperti tidak ada rasa lelah ataupun kecewa pada diri Ibu. Aku menarik Ibu dan membawanya ke tempat parkir.
"Ibu ngga usah datang kesini lagi." Aku tengak tengok kesana kemari. Tidak fokus pada Ibu.
"Kenapa nak? Shalu malu sama Ibu?"
"Ibu mau Shalu ajak jalan-jalan tapi ngga usah datang kesini lagi. Atau Ibu tetap datang kesini, tapi ngga jalan-jalan. Mau yang mana Bu?" Aku mengalihkan pembicaraan dengan memberi pilihan pada Ibu.
"Shalu mau ajak Ibu jalan-jalan?" Aku mengangguk dengan pandangan yang tak fokus pada Ibu.
"Beneran?" Ibu meyakinkan janjiku itu.
"Iya. Tapi Ibu jangan pernah kesini lagi!" tegasku.
Semenjak janji yang aku buat itu, Ibu selalu menagih janji yang aku tawarkan padanya. Namun tak kunjung aku tepati itu. Walau aku tahu ini semua tidak baik. Tapi entahlah. Hal apa yang membuatku begini, diriku sendiri juga tidak tahu.
Hujan kembali datang. Membasahi semua yang ada dimuka bumi. Aku dan beberapa temanku menunggu hujan ini segera reda.
Beberapa kali aku tengok jam yang melingkar ditangan, dari kejauhan nampak seperti seorang wanita yang tak lagi muda berjalan kearahku.
Aku sempat mengira perempuan itu adalah Ibu. Tapi bukan.
"Aku pulang dulu ya Shal."
"Iya." Aku mengangguk seraya tersenyum pada Kiran.
Melihatinya yang jalan bersama dengan Ibunya dibawah guyuran hujan. Sungguh berbeda denganku. Tak seperti dirinya yang menerjang hujan bersama dalam sebuah payung. Aku malah memikirkan diri sendiri, tanpa peduli dengan Ibu. Yang rela hujan-hujanan dan basah kuyup hanya demi diriku.
Biasanya kalau jam makan siang Ibu akan datang untuk mengantarkan bekal untuk ku. Tapi sekarang tidak pernah lagi. Aku merasa iri, tatkala melihat teman-teman yang Ibunya datang untuk mengantarkan makan siang. Membayangkan Ibu datang kesini seraya tersenyum padaku. Hingga tak ku sadari, air mata telah menepi dan siap mengalir membasahi pipi.
Ada rasa menyesal dalam lubuk hatiku. Kenapa selama Ibu datang kemari untuk mengantarkan makan siang dan payung dikala hujan aku mengacuhkannya? Kenapa?
Rasa kehilangan akan moment itu mulai menyelimuti diriku. Hingga aku tak sanggup lagi untuk menahan air mata yang mengalir ini.
Aku tahu. Aku tahu itu. Ini bukanlah tindakan yang baik. Tapi sungguh. Aku tidak tahu kenapa ini terjadi. Seolah-olah hatiku itu batu!
Sampai aku pulang kerjapun Ibu masih setia menungguku.
"Shalu Shalu!" panggilnya begitu melihatku. Aku memandanginya seperti tak suka.
"Ibu bawakan bekal untuk Shalu." Seperti tidak ada rasa lelah ataupun kecewa pada diri Ibu. Aku menarik Ibu dan membawanya ke tempat parkir.
"Ibu ngga usah datang kesini lagi." Aku tengak tengok kesana kemari. Tidak fokus pada Ibu.
"Kenapa nak? Shalu malu sama Ibu?"
"Ibu mau Shalu ajak jalan-jalan tapi ngga usah datang kesini lagi. Atau Ibu tetap datang kesini, tapi ngga jalan-jalan. Mau yang mana Bu?" Aku mengalihkan pembicaraan dengan memberi pilihan pada Ibu.
"Shalu mau ajak Ibu jalan-jalan?" Aku mengangguk dengan pandangan yang tak fokus pada Ibu.
"Beneran?" Ibu meyakinkan janjiku itu.
"Iya. Tapi Ibu jangan pernah kesini lagi!" tegasku.
Semenjak janji yang aku buat itu, Ibu selalu menagih janji yang aku tawarkan padanya. Namun tak kunjung aku tepati itu. Walau aku tahu ini semua tidak baik. Tapi entahlah. Hal apa yang membuatku begini, diriku sendiri juga tidak tahu.
Hujan kembali datang. Membasahi semua yang ada dimuka bumi. Aku dan beberapa temanku menunggu hujan ini segera reda.
Beberapa kali aku tengok jam yang melingkar ditangan, dari kejauhan nampak seperti seorang wanita yang tak lagi muda berjalan kearahku.
Aku sempat mengira perempuan itu adalah Ibu. Tapi bukan.
"Aku pulang dulu ya Shal."
"Iya." Aku mengangguk seraya tersenyum pada Kiran.
Melihatinya yang jalan bersama dengan Ibunya dibawah guyuran hujan. Sungguh berbeda denganku. Tak seperti dirinya yang menerjang hujan bersama dalam sebuah payung. Aku malah memikirkan diri sendiri, tanpa peduli dengan Ibu. Yang rela hujan-hujanan dan basah kuyup hanya demi diriku.
Biasanya kalau jam makan siang Ibu akan datang untuk mengantarkan bekal untuk ku. Tapi sekarang tidak pernah lagi. Aku merasa iri, tatkala melihat teman-teman yang Ibunya datang untuk mengantarkan makan siang. Membayangkan Ibu datang kesini seraya tersenyum padaku. Hingga tak ku sadari, air mata telah menepi dan siap mengalir membasahi pipi.
Ada rasa menyesal dalam lubuk hatiku. Kenapa selama Ibu datang kemari untuk mengantarkan makan siang dan payung dikala hujan aku mengacuhkannya? Kenapa?
Rasa kehilangan akan moment itu mulai menyelimuti diriku. Hingga aku tak sanggup lagi untuk menahan air mata yang mengalir ini.
Jebret! Pintu rumah ku buka dengan keras.
"Astagfirullah. Shalu?" Dengan air mata yang masih berlinang, aku memeluk Ibu.
Ibu melepas pelukanku.
"Shalu kenapa?"
Isakan masih terdengar dariku. "Shalu menyesal ngga pernah hargai semua yang dilakukan Ibu. Shalu menyesal Bu. Maafin Shalu Bu. Maafin Shalu Bu."
"Iya iya. Ibu maafin Shalu." Ibu menghapus air mataku.
Aku menyeka sisa air mata diwajahku. Dan segera beranjak pergi untuk mengambil air hangat dan handuk. Surga kecil ditepalak kaki Ibu, aku cuci dengan air hangat lalu mengepalnya dengan handuk. Aku mulai menunduk dan mencium surga kecilku itu.
Ibu mengangkat tubuhku. Kristal bening telah hadir dimatanya.
"Jika Shalu butuh topangan. Ibu siap jadi sandaran buat Shalu. Jika Shalu pengin cerita sesuatu, ceritakan saja sama Ibu. Ibu siap mendengar semua cerita Shalu. Ibu ngga pernah marah sama Shalu. Ibu sayang Shalu, ngga mungkin Ibu ningglin Shalu."
Aku terpaku mendengar perkataan Ibu yang berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Kembali. Aku memeluk Ibu dengan derai air mata.
Ibu melepas pelukanku dan menghapus air mataku.
"Jangan lupa Shalat ya nak."
Aku mengangguk sembari mencoba tersenyum dibalik air mata ini. Ibu menarikku dalam pelukannya. Air mata itu jatuh, membasahi baju Ibu.
Mungkin untuk hari ini, biarkan air mata mengalir. Saat mulut tidak bisa lagi berkata. Air mata adalah penggantinya. Air mata bukanlah lambang kelemahan atau mencari perhatian orang lain. Adakalanya sebuah air mata itu memiliki sebuah filosofi.
Oh Allah, terimakasih atas karya surga-Mu yang indah ini. Yang hadir dalam hidupku, untuk menyayangiku dengan tulus. Dialah Ibuku. Kasih sayangnya yang berlimpah telah membuatku sadar akan kehadirannya yang amat berharga. Karena tidak semua orang terlahir memiliki seorang Ibu. Dan tidak semua perempuan bisa menjadi seorang Ibu. Hanya orang-orang beruntung saja yang bisa merasakan akan kehangatan kasih sayang langka itu.
Mother is an angel in the from of man. His love, love, love all the time. Thanks Mom, I always loved you all my life.
"Astagfirullah. Shalu?" Dengan air mata yang masih berlinang, aku memeluk Ibu.
Ibu melepas pelukanku.
"Shalu kenapa?"
Isakan masih terdengar dariku. "Shalu menyesal ngga pernah hargai semua yang dilakukan Ibu. Shalu menyesal Bu. Maafin Shalu Bu. Maafin Shalu Bu."
"Iya iya. Ibu maafin Shalu." Ibu menghapus air mataku.
Aku menyeka sisa air mata diwajahku. Dan segera beranjak pergi untuk mengambil air hangat dan handuk. Surga kecil ditepalak kaki Ibu, aku cuci dengan air hangat lalu mengepalnya dengan handuk. Aku mulai menunduk dan mencium surga kecilku itu.
Ibu mengangkat tubuhku. Kristal bening telah hadir dimatanya.
"Jika Shalu butuh topangan. Ibu siap jadi sandaran buat Shalu. Jika Shalu pengin cerita sesuatu, ceritakan saja sama Ibu. Ibu siap mendengar semua cerita Shalu. Ibu ngga pernah marah sama Shalu. Ibu sayang Shalu, ngga mungkin Ibu ningglin Shalu."
Aku terpaku mendengar perkataan Ibu yang berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Kembali. Aku memeluk Ibu dengan derai air mata.
Ibu melepas pelukanku dan menghapus air mataku.
"Jangan lupa Shalat ya nak."
Aku mengangguk sembari mencoba tersenyum dibalik air mata ini. Ibu menarikku dalam pelukannya. Air mata itu jatuh, membasahi baju Ibu.
Mungkin untuk hari ini, biarkan air mata mengalir. Saat mulut tidak bisa lagi berkata. Air mata adalah penggantinya. Air mata bukanlah lambang kelemahan atau mencari perhatian orang lain. Adakalanya sebuah air mata itu memiliki sebuah filosofi.
Oh Allah, terimakasih atas karya surga-Mu yang indah ini. Yang hadir dalam hidupku, untuk menyayangiku dengan tulus. Dialah Ibuku. Kasih sayangnya yang berlimpah telah membuatku sadar akan kehadirannya yang amat berharga. Karena tidak semua orang terlahir memiliki seorang Ibu. Dan tidak semua perempuan bisa menjadi seorang Ibu. Hanya orang-orang beruntung saja yang bisa merasakan akan kehangatan kasih sayang langka itu.
Mother is an angel in the from of man. His love, love, love all the time. Thanks Mom, I always loved you all my life.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar