Rabu, 10 Februari 2016

Cerpen Motivasi : "I am Scolioser!"



Awal pertama dokter mendiagnosa aku menderita skoliosis, rasanya hati ini hancur. Air mata tak lagi sanggup ku bendung. Serasa bumi ini akan runtuh.

Namun lama kelamaan, aku mulai menerima kondisiku. Toh ini juga bukan mauku. Aku hanya berfikir, mungkin Tuhan sedang mengujiku seberapa sabar diriku untuk menerima       penyakit          ini.

Tapi aku bangga. Walaupun aku skolioser bukan berarti aku tidak bisa apa-apa. Karena satu yang ku tahu. Keberhasilan tidak akan mendatangi orang yang hanya diam.

***

Sudah dua tahun lamanya aku menjadi skolioser. Bukannya aku tidak berusaha untuk sembuh dari skoliosis ini. Tapi memanglah butuh waktu yang lama dan tergantung dari seberapa rutin kita melakukan pemeriksaan.

Deritaku ditambah lagi karena harus memakai alat sejenis penyangga untuk menyangga tulangku. Hal ini dilakukan agar kedaan tulangku tidak bertambah parah. Kalau pakai ini rasanya sesak. Tapi ya mau ngga mau harus mau.

Warna jingga kekuningan yang berpadu apik dengan biru mudanya langit sungguh elok dipandang. Ditambah gumpalan-gumpalan awan yang mengisyaratkan sebuah lukisan alam           sangat  indah.

Tapi semua itu tidak bisa memberiku sebuah keceriaan. Disini. Diruangan ini. Hanya ada kebisuan yang membabi buta. Dan keheningan yang menghanyutkan.

Tak jarang, kebosanan yang pekat melanda. Aku ingin sekali seperti anak-anak yang lain. Yang bebas bergerak dan bisa bersekolah. Tanpa dipandang sebelah mata.

Aku sangat menderita dengan skoliosisku ini. Setiap hari aku harus disinar. Nah efek dari penyinaran itu aku merasa sangat sakit. Terkadang rasa putus asa menghampiriku. Memintaku agar     pergi.

Ceklekk!

Mama masuk dengan membawakan pakaian untuk penyinaran nanti. Ini sudah kesekian kalinya aku menjalani terapi penyinaran. Sungguh tidak menyenangkan!

"Ra      ayo      kita      terapi,"

Dengan lesu aku mengangguk pelan. Hanya sekedar untuk menghibur Mamaku.

"Selesai            memakai          bajunya,           langsung          ke        ruangan           ya,"


Aku mengangguk lesu. Mama tersenyum lalu mengelus kepalaku dan berangsur pergi.

Aku tidak segera untuk memakai baju itu. Aku muak melihat baju itu! Setelah aku pandangi baju itu cukup lama, aku putuskan untuk kabur dari sini. Entah bisikan apa yang  menyuruhku    untuk   lari       dari      sini.

Mengendap-endap      keluar. Berharap          tidak    ada      yang    melihatku.

"Maura?"

Deg! Siapa yang memanggilku? Pikirku. Posisi kami saling membelakangi. Ku coba untuk menoleh ke arahnya. Oh tidak! Ternyata itu Dokter Daniel yang biasa merawatku. Segera           aku      mengambil       jurus    kaki            seribu.

Laarrrriiiiiii. Tapi Dokter Daniel juga tak tinggal diam. Dia terus mengejarku.

Aku lari tergopoh-gopoh. Sebenarnya seorang penderita skoliosis tidak diperbolehkan untuk lari. Jalan yang jaraknya lumayan jauh aja bisa bikin nafas jadi separo-paro.

Entah kemana aku harus pergi. Rasa nyeri tiba-tiba datang lagi. Tak kuat lagi ku tahan. Ditambah nafas yang terasa sesak. Akhirnya aku putuskan untuk memasuki salah satu ruangan yang ada di rumah sakit. Tak peduli ruangan apa. Sekalipun itu kamar mayat, aku harap mayat-mayat ngga tiba-tiba bangun untuk menakutiku.            Hhiiii,  kan      ngeri.

BRAKK

Setelah menutup kunci rapat. Aku cukup merasa lega. Walau tulang-tulangku terasa remuk. Terlebih tulang belakangku. Uuhh sungguh menyakitkan!

"Hei     kamu   siapa?"

Dengan nafas yang masih belum teratur aku dikagetkan lagi dengan suara. Setelah aku memalingkan muka, tampak seorang perempuan cantik sedang berdiri dihadapanku.

"A a aku Maura. Ka kamu siapa? Ka ka kamu bukan hantukan?" aku terpojok dipintu. Sementara perempuan            itu        terus    mendekatiku.

"Hei jangan takut. Aku bukan hantu. Namaku Rahma," ujarnya.

Setelah aku memandanginya untuk meyakinkan diri, akhirnya aku mulai mengenalinya. Aku diajak olehnya untuk duduk dan saling mengobrol hangat.

"Jadi    kamu   lari       gara-gara         ngga    mau     disinar?"

Aku mengangguk. "Kenapa? Sakit? Aku juga merasa sakit saat disinar," ujarnya.

"Kamu skolioser juga?" kataku tak percaya. Dia mengangguk dengan senyuman yang mengembang            dibibirnya.
"Menurutku, kamu jalani saja terapinya. Jangan sampai tidak. Karena itu salah satu cara untuk       mengobati            sakitmu,"         jelasnya.

"Tapi efek dari terapi itu cukup membuatku menderita! Kalau boleh protes, aku tidak mau menjadi skolioser! Itu membuatku menderita!" ketusku dengan suara tegas
.
"Coba deh kamu kenalan sama penyakitmu. Terkadang ngga selama penyakit itu menjadi beban, adakalanya jika kamu bisa menerimanya penyakit itu akan menjadi sahabat yang baik. Percaya deh," Rahma berusaha untuk meyakinkanku.

Aku masih tidak          yakin   dengan perkataan        Rahma.

"Maksudmu sahabat yang baik gimana? Bukannya dia malah membuat kita menderita?" timpalku.

"Terkadang seseorang perlu belajar mengambil hikmah dari suatu penderitaan. Mungkin karena kamu belum kenal jadi, kamu rasa skoliosis itu beban,"

Aku mendengar penjelasan Rahma dengan seksama. "Tapi jika kau bisa meluapkan rasa sakitmu menjadi sesuatu yang bermanfaat, aku yakin kamu pasti akan bangga menjadi skolioser,"     dia       mengangguk    penuh            keyakinan.

Sementara aku hanya terdiam. Masih tidak mengerti dengan perkataannya. Bangga menjadi          skolioser?            What?

"Maura!"

Suara itu menyebut namaku. Mungkin mereka sedang sibuk mencari diriku.

"Kamu temui mereka gih. Dan jalani saja terapinya," dia memegang tanganku. Mungkin untuk      menyalurkan            keyakinan        dirinya padaku.

"Ta ta tapi ..." belum sempat aku meneruskan perkataanku, Rahma langsung memotongnya.

"Jangan pernah berfikir kamu hidup sendiri di dunia. Tuhan yang memberi masalah, maka Tuhan pula yang akan memberi solusinya. Karena masih banyak diluar sana yang lebih       tidak    beruntung,"     ujarnya dengan            nasihat bijaknya.

Dia mengangguk yakin padaku. Akhirnya aku juga menyetujui pendapatnya. Sebelum aku pergi, aku memeluk Rahma hangat dan mengucapkan terimakasih atas supportnya.

Selebihnya aku harus menjalani terapi penyinaran demi kesembuhanku. Sampai ada donor sumsum tulang belakang untukku. Biarpun sakit, tapi aku belajar untuk mengambil hikmah seperti apa      yang    dikatakan            Rahma.


Rasa sakit itu aku luapkan lewat rangkaian kata dan menjadikannya sebuah kalimat tulisan. Ternyata benar kata Rahma, dari hobby baruku menulis, aku cukup merasa senang dan sedikit berkurang rasa sakit pada tulang belakangku. Thank you Rahma.

Kini aku mulai memahami sakitku. Tak selamanya sakit itu menjadi beban. Tuhan yang memberi masalah, maka Tuhan pula yang memberi solusinya. Skolioser tidak menutup mimpiku untuk menjadi seorang penulis. Aku bangga dengan kondisiku. I'am scolioser!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar