Rabu, 10 Februari 2016

Cerpen Motivasi : "Siapakah Dia?"



Siapa Dia?

Tuhan hanya menciptakan dua type orang di dunia. Pertama orang baik. Dan kedua adalah orang yang tidak peduli. Mereka bisa jahat karena ketidak pedulian yang bergelayut terus menerus dalam hatinya. Orang bisa dikatakan baik karena kepedulian yang sangat kuat berdiri di hatinya.

***

Pukul 12.20

Matahari telah berpindah dari peraduannya. Ia telah terbang, membumbung tinggi di atas kepala. Dari arah ufuk timur ia bergerak ke atas, atas, atas, dan akhirnya sampai pada tidurnya yang lelap di ufuk barat. Sinarnya telah menunjukkan sebuah kehidupan, terasa sampai ke kulit.

Selesai melaksanakan shalat dzuhur, aku gunakan waktu istirahat untuk sekedar mengisi perut yang sudah meminta padaku untuk segera diisi. Karena kebetulan dari pagi aku belum makan sama sekali. Akupun mulai melangkahkan kaki menuju sebuah warung makan sederhana.

Aku duduk. Dan aku lihati lauk makanan apa yang kiranya akan ku pilih. Aku pilih tempe dan nasi saja. Tak lama, makanan telah tersaji di meja. Aku segera menyantapnya dengan lahap. Walau hanya ini yang mampuku beli. Tapi sudah cukup untuk mengganti tenaga yang telah aku gunakan tadi. Selesai makan, aku segera membayar dan keluar dari warung makan ini.

"Sedekahnya, sedekahnya, saya belum makan tiga hari," sahut seorang pengemis dengan mengibakan tangan padaku. Aku lihati dia. Aku amati dia. Tubuhnya kurus, tidak terawat. Kemanakah gerangan orangtuanya?

Aku ingin memberinya sedikit sedekah. Aku coba membuka isi dompetku, hanya tinggal selembar lima ribu yang tersisa. Jika aku memberikan uang ini, maka aku tidak bisa pulang. Dan aku juga tetap tidak bisa pulang dengan sisa uang segini. Lantas harus bagaimana? Dengan berat hati aku katakan pada anak ini. "Maafkan aku, aku tidak bisa memberi sedekah padamu,"

Tanpa berkata, dia langsung pergi dariku. Aku hanya melihati punggungnya yang masih terus mencari sedekah. Lalu aku kembali berjalan, walau ada perasaan bersalah lantaran aku tidak membantunya. Samar-samar aku mendengar suara anak itu sedang meminta sedekah lagi.

"Bu sedekhanya, saya belum makan tiga hari,"

Dengan wajah penuh senyum. Seorang wanita yang tak lagi muda dengan kondisi tak jauh berbeda dengan anak itu, memberinya sedekah.

"Ini untukmu, Nak," ujar wanita itu dengan memberi sedikit rezekinya.

"Tapi, apakah Ibu tidak membutuhkannya? Lihatlah kondisi Ibu. Ibu tak jauh berbeda denganku," kata anak itu yang telah menerima sedekah dari wanita yang ada di hadapannya.

"Bukankah tangan di atas lebih baik daripada di bawah?"

Aku tersentak. Seketika aku langsung membalikkan badan, melihat siapa yang mengatakan hal bijak seperti itu. Anak itu terdiam. Pandangannya menunduk. Mungkin dia tertegun akan perkataan wanita itu.

"Nak ..." tutur wanita itu dengan bersimpuh di depannya. "Jikalau kondisimu memaksamu untuk bekerja seperti ini, maka tidak apa. Mungkin Tuhanpun akan mengerti," wanita itu menambahkan.

Anak itu tersenyum. "Terimakasih banyak, Bu," Wanita itu mengangguk seraya tersenyum. Sebelum anak itu pergi, wanita itu mengelus kepala dan juga memeluknya. Lalu pergilah anak itu.

Air mata menetes dari mataku. Melihat suatu pemandangan yang sangat jarang aku temui. Baru kali ini aku melihat seorang yang kondisinya juga sangat membutuhkan tetapi masih mau berbagi. Dan bagaimana denganku? Aku, yang kondisinya berada di atasnya, malah tidak bisa berbagi pada anak itu. Sejahat itukah diriku? Oh Tuhan, maafkan aku.

Wanita itu mulai melangkah pergi. Terlihat tentengan kresek di tangannya. Entah apa isinya. Aku jadi penasaran melihat wanita itu. Siapakah dia? Aku ikuti dia dari jauh. Dia masih melangkah, tak ada raut wajah sedih yang terlukis di wajahnya. Hanya senyum, yang memenuhi isi wajah kusutnya.

Tiba-tiba dia memberhentikan langkah. Dan sontan, aku juga ikut berhenti. Aku berpura-pura duduk seraya membaca koran yang tanpa sengaja aku temukan di sampingku. Aku tutupi wajahku, dan mencoba mencuri pandangan untuk bisa melihat wanita itu.

"Apa yang akan ia lakukan?" pekikku lirih.

Wanita itu berjalan, aku masih tetap diam. Sampai akhirnya aku tahu, wanita itu berhenti pada seorang kakek yang sedang duduk. Lagi-lagi kondisi kakek itu sangat memprihatinkan. Entah terjadi pembicaraan apa diantara mereka. Jarakku dengannya cukup jauh, sehingga membuatku tidak bisa mendengar percakapan mereka.

Yang aku lihat, kakek itu seperti penjual asongan. Lalu wanita itu memberikan sesuatu dari dalam kresek hitamnya. Setelahnya, wanita itu kembali berjalan. Dan aku kembali mengikutinya. Rasa penasaranku terlampau besar. Aku benar-benar penasaran dengan siapa sosok wanita bak malaikat ini? Aku terus mengikutinya. Sampai akhirnya mataku membulat, aku terdiam, seolah kakiku tertancap di bumi. Berat rasanya untukku angkat dan melangkah maju.

"Ibuuuu!" seru segerombolan anak yang menyambut kedatangannya.

Apakah itu semua anaknya? Tetapi banyak sekali? Lantas mana Ayahnya? Atau jangan-jangan anak-anak itu adalah anak jalanan yang ia bantu?

Terlihat diantara wajah mereka tak ada yang sama dengan wanita itu, yang mereka panggil Ibu. "Ibu bawa apa?" sahut salah seorang anak diantaranya.

"Sabar, sabar, kalian mengantre ya," kata wanita itu dengan senyum yang masih melekat di bibirnya.

Dibukanya kresek hitam yang ia tenteng, diambil isinya dan diberikan kepada anak-anaknya. Setelah itu mereka berpelukan dan berangsur masuk ke dalam rumah yang lebih tepat disebut gubuk kardus usang.

Air mata menitih kembali dari mataku. Menyadarkanku akan sesuatu. Betapa hebatnya wanita itu. Dia sendiri sangat membutuhkan bantuan, tetapi dia masih mau berbagi dengan apa yang dia miliki. Sebenarnya siapa dia? Apakah dia seorang malaikat yang menjelma menjadi seorang wanita miskin? Siapa dia? Siapa dirimu wahai wanita berhati mulia? Kelak rasa penasaranku akan terjawab, suatu saat aku akan menemuimu lagi. Aku pergi. Dengan sisa air mata yang masih menepi di sudut mataku.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar