Rabu, 10 Februari 2016

Cerpen Inspirasi : "Pelangi Malam"



                                    Pelangi Malam

"Hei Tono! Sedang apa kau disana?" teriak Paman Paijo dari sebrang sungai.
"Buat kincir air biar ada aliran listirk ke kampung kita!" Tono masih sibuk dengan kincir air yang sedang dibuatnya.
"Sudahlah! Pulang saja kau! Emak kau pasti membutuhkanmu! Kau tak mungkin bisa! Ayo pulang!"

Tono tidak memperdulikan apa yang dibicarakan pamannya itu. Dengan sabar dan ulet, Tono mencoba untuk membuat kincir air impiannya itu. Dia hanya ingin ada setitik cahaya yang menerangi kampungnya. Karena selama ini hanya lampu minyak yang menerangi tiap rumah di kampungnya.

Malam hari sepulang mengaji, Tono masih sibuk belajar. Asap pekat yang keluar dari lampu minyak mengepul dirumahnya.

Dengan sabar, Emak menemani Tono belajar sembari menganyam pandan kering menjadi kerajinan tangan. Bapak Tono sedanglah merantau ke luar kota.

Saat pagi tiba, barulah Tono bisa menghirup udara segar. Tidak ada lagi asap hitam yang mengepul. Karena asap itu, rumah Tono jadi sedikit berwarna hitam.

Tono berangkat sekolah melewati aliran sungai dan pematang sawah. Kincir air impiannya belum nampak timbul, karena dia sendiri bingung harus bagaimana.

Tapi Tono tak pantang menyerah, dia mencoba untuk menanyakan hal ini pada guru disekolahnya dan orang-orang pintar di kampungnya.

Perlahan, warga di kampungnya mulai berfikir, "Ada benarnya si Tono, jika ada aliran listrik di rumah kita, anak-anak kita bisa belajar dengan nyaman." kira-kira seperti itu bincangan para warga.

Sering berjalannya waktu, para warga ikut berpartisipasi membantu pembuatan kincir air itu. Tono merasa senang. Walau, pamannya sendiri belum mau membantunya.

Pekerjaan yang berat akan terasa ringan jika dikerjakan bersama.
"Satu dua tigaaa ..." para warga mencoba memutar kincir air itu, mereka harap-harap cemas dengan percobaan pertama ini.



Dan hasilnya, tak sesuai rencana. Kincir air itu berhenti bekerja. Paman Paijo yang hanya melihat dari sebrang sungai, tersenyum kecut melihat hal itu.

Tono dan warga kampungnya tidak pantang menyerah. Sudah tiga kali percobaan mereka mengalami kegagalan. Hingga akhirnya percobaan ke empat, sedikit demi sedikit para warga meninggalkannya.

"Pak Subi, kenapa bubar?" tanya Tono.
"Kami semua lelah, udah kali ketiga percobaan ini gagal. Sudahlah ayo kita pulang Ton!"
"Tidak! Thomas Alfa Edison penemu lampu saja mengalami kegagalan sampai sembilan ratus sembilan puluh sembilan dan baru berhasil saat percobaan ke seribu. Masa kita yang baru gagal tiga kali nyerah gini." Tono bermaksud agar Pak Subi tidak pergi.

"Ya itu dia. Beda dengan kamu! Saya mau pulang!" lalu Pak Subi berangsur pergi.
Sebenarnya Tono sediri juga lelah. Dan ingin berhenti mengerjakan ini. Tapi dia juga ingin ada aliran listrik di kampungnya.

Tono mencoba untuk kembali mengerjakan pembuatan kincir air itu. Terbesit akan perkataan gurunya waktu itu,

"Tono. Hidup itu seperti pelangi. Warna warni pelangi ada filosofinya sendiri, seperti warna merah. Melambangkan keberanian. Warna jingga melambangkan kesehatan, kuning melambangkan keceriaan, hijau sebuah pengharapan, biru pembawa kedamaian, nila sebuah kesederhanaan. Dan ungu adalah kemewahan. Jika ke tujuh warna itu digabung akan menjadi pelangi yang indah dan melambangkan sebuah keberanian berharap sederhana yang mewah pembawa kesehatan, keceriaan, dan kedamaian." mungkin itu yang dimaksud gurunya.

Tono jadi semakin yakin bisa membuat kincir air ini mau bergerak. Untuk percobaan ke empat masih mengalami kegagalan.

“Aku ngga boleh putus semangat! Aku harus menyelesaikan ini! Aku pasti bisa! Ya, aku bisa!” Tono terus menyemangati dirinya yang hampir putus asa.

Hingga saat percobaan ke lima, saat Tono akan mencoba memutarnya dia melihat sesuatu yang mungkin membuat kincir air ini tidak mau bergerak. Tono mencoba untuk memperbaikinya.

Setelah itu, "Bismilahhiromanirohim!" Tono memutar kincir air itu sekuat tenaga. Hingga ada uluran tangan yang membantunya. Tono berpaling untuk melihatnya, itu Paman Paijo. Tono tersenyum.

Akhirnya kincir air itu mau bergerak seperti yang diharapkannya. Tono bersorak senang. Dia mencoba untuk memasang bola lampu, dan hasilnya ada arus listrik yang membuat lampu itu menyala. Tono bersorak senang, akhirnya semangat pantang menyerah membuahkan hasil.

Atas usaha Tono, kini saat malam tiba tak ada lagi lampu minyak yang menerangi kampungnya. Akhirnya Tono dan semua warga bisa menikmati indahnya malam. Melihat warna warni dunia walau dalam malam.

“Paman bangga padamu.” Paman memeluk Tono.
“Emak juga bangga padamu.” Emak datang sembari membawakan secangkir teh hangat dan singkong rebus.
“Makasih Paman, juga Emak. Ini semua berkat do’a dan usaha kita,” ujar Tono sembari tersenyum dan menyeruput teh hangatnya.

Malam ini terasa berbeda. Biasanya seusai mengaji tidak ada anak-anak yang bermain keluar rumah karena gelap. Namun kini malah sebaliknya. Anak-anak kecil banyak yang bermain dihalaman sekitar rumahnya.

Dan bagi anak-anak yang bersekolah, bisa belajar dengan nyaman tanpa ada kepulan asap yang membuat sesak nafas.

Udara malam yang segar juga bisa mereka rasakan. Dengan ini jauh lebih menyehatkan. Tatkala para orang dewasa bisa bercengkerama bersama bertemankan teh atau kopi hangat. Malam hari serasa seperti pagi, karena banyak juga aktifitas yang mereka lakukan.

Kini tugas mereka adalah, selalu mengecek kondisi kincir air itu. Agar tidak mengalami kesulitan. Dan berharap semoga pemerintah bisa menyediakan aliran listrik yang lebih baik. Karena siapa tahu saat musim kemarau sungai itu akan kering.

Tono tersenyum, pelangi itu akhirnya terlihat lebih indah saat malam tiba.
Sebuah keberanian berharap sederhana yang mewah pembawa kesehatan, keceriaan, dan kedamaian.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar